KOROPAK.CO.ID – JAKARTA – Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang akan diterapkan mulai tahun ajaran baru 2025, dari jam malam, masuk sekolah pukul 06.30 WIB, hingga penghapusan pekerjaan rumah (PR), bukanlah muncul tanpa jejak sejarah.
Langkah ini merupakan kelanjutan dari pendekatan pendidikan yang telah lebih dulu ia praktikkan saat menjabat sebagai Bupati Purwakarta. Pada 3 Juni 2025, Dedi mengumumkan bahwa selain aturan jam malam bagi pelajar, ia akan menghapus tugas rumah untuk siswa sekolah dasar hingga menengah.
Ia beralasan, PR kerap menjadi beban tambahan di luar jam sekolah yang mengganggu waktu istirahat anak. “Saya sudah minta Dinas Pendidikan mengeluarkan surat edaran. Anak-anak tidak membawa beban pembelajaran ke rumah dalam bentuk PR,” ujarnya, dikutip dari Tempo.
Sejak menjabat sebagai kepala daerah di Purwakarta satu dekade lalu, Dedi memang dikenal dengan pendekatan tak lazim dalam dunia pendidikan. Penghapusan PR merupakan salah satu kebijakan yang ia bawa dari masa kepemimpinannya di tingkat kabupaten.
Bagi Dedi, pekerjaan rumah bukanlah tugas akademik yang dibawa pulang, melainkan kegiatan domestik seperti membantu orang tua, menyapu, atau membaca buku. “Kegiatan membaca akan diuji oleh guru. Tidak ada lagi belajar kelompok di rumah,” tegasnya, menguatkan kembali prinsip belajar tuntas di sekolah.
Baca: DPR Nilai Pendidikan Gratis Tak Wajib untuk Sekolah Premium
Untuk mendukung kebijakan ini, Dedi mengklaim telah menggandeng sekitar 600 psikolog anak guna merancang pendekatan yang berbasis pada kesejahteraan mental dan psikologi perkembangan anak. Ia juga berencana melakukan survei dan evaluasi terhadap siswa setelah kebijakan diterapkan, termasuk aspek psikologis dan grafologis mereka.
Namun, respons terhadap kebijakan ini beragam. Kebijakan jam malam dan masuk pagi yang mulai diberlakukan bersamaan, menjadi pemantik perdebatan publik.
Meski demikian, Dedi bersikukuh bahwa logika biologis anak cukup menjadi dasar kebijakan tanpa perlu kajian akademik khusus. “Tidak usah pakai kajian. Saya tanya saja, anak itu sehatnya tidur dari jam berapa sampai jam berapa? Itu saja cukup,” katanya.
Dedi merujuk pada standar tidur anak selama delapan jam sebagai tolok ukur utama. Jika anak tidur pukul 20.00, maka bangun pukul 04.00 adalah hal wajar dan sehat, menurutnya.
Kebijakan Dedi menjadi penanda bahwa narasi pendidikan berbasis budaya lokal dan kesehatan anak kini kembali diangkat dalam ruang kebijakan daerah. Seiring waktu, penerapannya akan menunjukkan apakah pendekatan ini sekadar pengulangan masa lalu atau pijakan menuju masa depan pendidikan yang lebih manusiawi.