KOROPAK.CO.ID – Di antara deru notifikasi dan pesan singkat yang datang setiap detik, kartu pos mungkin terdengar seperti bisikan dari masa lalu. Sekeping karton kecil bergambar lanskap, monumen, atau wajah kota, kini tampak asing di tangan generasi yang tumbuh dengan layar sentuh.
Namun, di balik kesederhanaannya, kartu pos menyimpan jejak panjang sejarah dan makna yang tak lekang oleh waktu.
Kartu pos pertama kali hadir pada tahun 1869 di Austria-Hungaria atas gagasan Dr. Emanuel Herrmann. Saat itu, dunia membutuhkan cara yang lebih cepat dan murah untuk berkirim kabar, dan kartu pos menjawab kebutuhan itu. Dengan cepat, bentuk komunikasi ini menyebar ke penjuru Eropa dan menjelma jadi fenomena global.
Di Indonesia, kartu pos mulai dikenal pada akhir abad ke-19, dibawa oleh pemerintah kolonial Belanda untuk kebutuhan administrasi dan komunikasi jarak jauh.
Desainnya awalnya polos: hanya selembar karton tipis dengan ruang untuk alamat dan beberapa kalimat pesan. Namun, tak butuh waktu lama sebelum kartu pos berkembang menjadi kanvas kecil untuk ekspresi visual.
Pemandangan kota, pantai tropis, lukisan daerah, hingga peristiwa sejarah tercetak dalam gambar-gambar yang menjadi wajah dari suatu tempat dan momen tertentu. Pada era 1980 hingga awal 2000-an, kartu pos menjadi bagian dari budaya perjalanan.
Bagi anak-anak dan remaja yang tumbuh di tahun-tahun itu, menunggu kiriman kartu pos dari kerabat yang melancong ke kota lain adalah pengalaman yang menyenangkan. Goresan tangan yang kadang terburu-buru, stempel pos yang samar, dan gambar khas yang melekat, semua itu membentuk kenangan yang nyaris tak bisa diulang oleh emoji atau GIF.
Namun, alih-alih punah, kartu pos perlahan menemukan cara untuk tetap bertahan. Di sejumlah negara, termasuk Indonesia, komunitas seperti Postcrossing mempertemukan ribuan orang yang ingin bertukar kartu pos dari berbagai penjuru dunia.
Baca: Hari Pos Sedunia: Merayakan Hubungan yang Dibangun oleh Surat
Di sini, kartu pos bukan lagi alat komunikasi praktis, melainkan simbol perhatian, kreativitas, dan keterhubungan lintas budaya. Tak hanya itu, beberapa psikolog bahkan memanfaatkan kegiatan menulis kartu pos sebagai bentuk terapi.
Menulis dengan tangan, memilih kata yang tepat, dan membayangkan penerima di kejauhan bisa membantu memperlambat ritme pikiran yang kacau, mengurangi stres, bahkan menumbuhkan rasa syukur.
Di tengah geliat digital, kartu pos juga bertransformasi. Kini ada layanan kartu pos digital yang memungkinkan kita mengirim pesan personal dengan sentuhan desain klasik lewat email atau aplikasi.
Beberapa platform percetakan bahkan memungkinkan seseorang mendesain kartu secara daring lalu mencetak dan mengirimkannya dalam bentuk fisik, sebuah kolaborasi antara kecepatan modern dan kehangatan lama.
Sekolah-sekolah mulai melirik kartu pos sebagai alat edukatif: memperkenalkan anak pada geografi, budaya, dan pentingnya ekspresi tulisan tangan. Di sinilah kartu pos kembali menjadi medium belajar, bermain, sekaligus mengenal dunia luar dengan cara yang menyenangkan dan penuh makna.
Lebih dari sekadar media komunikasi, kartu pos adalah artefak budaya. Dalam perangko yang menempel, dalam goresan tulisan tangan, dan dalam gambar yang dipilih, tersimpan kisah tentang siapa kita, kapan kita hidup, dan apa yang kita anggap penting untuk dibagikan.
Mungkin kartu pos tak lagi mendominasi meja kerja atau laci dapur seperti dulu, tapi ia belum mati. Ia hanya berubah fungsi: dari alat praktis menjadi penanda rasa, dari instrumen komunikasi menjadi pengingat bahwa dalam dunia yang serba cepat, perhatian tulus masih punya tempat untuk dihargai.