KOROPAK.CO.ID – Di tengah derasnya arus permainan digital masa kini, slentikan hadir sebagai pengingat akan kekayaan budaya permainan tradisional yang dahulu mewarnai masa kecil anak-anak Indonesia.
Slentikan bukan sekadar permainan, tetapi juga warisan budaya lisan yang tumbuh dari interaksi sosial anak-anak desa, diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi.
Permainan ini telah dikenal sejak masa lalu, terutama di lingkungan perdesaan yang memiliki halaman luas dan lapisan tanah lapang. Anak-anak kala itu kerap berkumpul selepas sekolah atau menjelang senja, menjadikan permainan sebagai pelipur penat sekaligus wahana bersosialisasi.
Dalam sejarah lisan masyarakat, slentikan sering disebut sebagai permainan musim sore, dilakoni dengan penuh keriangan sembari menunggu waktu magrib. Slentikan memiliki kemiripan dengan permainan kelereng (gundu), namun dengan sentuhan aturan lokal yang khas.
Tidak banyak yang dibutuhkan untuk memainkannya: cukup beberapa butir kelereng, garis pembatas yang digambar menggunakan kapur atau ranting, dan sebidang tanah yang rata. Permainan ini sederhana, tapi justru dari kesederhanaan itulah muncul kegembiraan yang tak ternilai.
Secara historis, permainan ini memiliki nilai sosio-kultural yang tinggi. Ia mengajarkan strategi, kesabaran, hingga sportivitas. Tidak jarang pula slentikan menjadi sarana belajar berkompetisi dengan jujur di antara anak-anak, jauh dari pengawasan orang dewasa.
Baca: Asyiknya Bermain Kucing-Kucingan, Permainan Legendaris Anak Indonesia
Dalam konteks masa lalu, permainan seperti ini menjadi bagian dari pendidikan karakter nonformal yang berlangsung alami. Permainan dimulai dengan menggambar garis awal dan menggali lubang kecil di tanah, biasanya berjarak sekitar tiga meter.
Setelah diundi siapa yang akan bermain lebih dulu, tiap pemain akan melemparkan kelereng dari garis tersebut ke arah lubang. Namun, tantangannya terletak pada keakuratan—kelereng harus sedekat mungkin dengan lubang, tapi tidak boleh masuk.
Selanjutnya, para pemain akan beradu kejelian dan ketangkasan. Dari posisi kelereng masing-masing, pemain berusaha mendorong kelereng lawan ke lubang. Jika berhasil, kelereng lawan menjadi miliknya. Permainan akan terus berlanjut hingga hanya satu pemain dan satu kelereng yang tersisa di arena. Dialah pemenangnya.
Bagi generasi terdahulu, slentikan bukan hanya permainan pengisi waktu luang. Ia adalah sarana menjalin pertemanan, memperkuat ikatan sosial, dan mengasah kecerdasan taktis anak-anak. Dalam kerangka sejarah budaya anak Indonesia, permainan seperti slentikan turut membentuk kepribadian kolektif: tangguh, jujur, dan komunikatif.
Namun kini, permainan tradisional seperti slentikan kian jarang dijumpai. Di tengah modernitas dan gawai, ia perlahan tergeser ke pinggiran sejarah. Padahal, dalam permainan ini terkandung nilai-nilai luhur yang sangat relevan dengan pendidikan karakter masa kini.
Menghidupkan kembali slentikan bukan hanya soal nostalgia. Ia adalah upaya menyelamatkan warisan budaya tak benda Indonesia, sebuah jejak kecil yang merekam cara anak-anak dahulu belajar, tertawa, dan tumbuh bersama di tengah alam.