Actadiurna

Saat Regulasi Tak Mampu Lindungi Pulau-pulau Kecil yang Terancam Lenyap di Raja Ampat

×

Saat Regulasi Tak Mampu Lindungi Pulau-pulau Kecil yang Terancam Lenyap di Raja Ampat

Sebarkan artikel ini
Saat Regulasi Tak Mampu Lindungi Pulau-pulau Kecil yang Terancam Lenyap di Raja Ampat
Doc. Foto: BBC

KOROPAK.CO.ID – JAKARTA – Di tengah arus pembangunan dan industrialisasi, ratusan pulau kecil Indonesia kembali menghadapi ancaman lama yang belum kunjung usai: pertambangan.

Aktivitas ekstraktif ini terus menghantui kawasan pesisir dan gugusan pulau-pulau kecil, meskipun larangannya telah tercantum tegas dalam undang-undang sejak lebih dari satu dekade lalu.

Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007, negara seharusnya sudah memagari pulau-pulau kecil dari aktivitas tambang, terutama yang berdampak ekologis.

Undang-undang tersebut mengatur bahwa pemanfaatan pulau kecil yakni pulau dengan luas kurang dari atau sama dengan 2.000 km2 harus memperhatikan prinsip kelestarian ekosistem dan prioritas konservasi. Namun, kenyataannya berbicara lain.

Alih-alih melindungi, pemerintah justru tercatat masih menerbitkan izin usaha pertambangan (IUP) di pulau-pulau kecil. Dalam banyak kasus, proses perizinan dilakukan tanpa mempertimbangkan aspek ekologis secara komprehensif.

Salah satunya terjadi di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, di mana lima perusahaan diketahui memiliki IUP tambang nikel di kawasan yang merupakan surga biodiversitas laut dunia.

Polemik mencuat setelah investigasi Greenpeace Indonesia mengungkap dampak kerusakan lingkungan akibat aktivitas tersebut. Menyusul tekanan publik, pemerintah akhirnya mencabut empat IUP, tetapi PT Gag Nikel tetap diizinkan beroperasi.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia berdalih bahwa keputusan mempertahankan izin PT Gag Nikel telah mempertimbangkan aspek “legal dan historis.” Namun, bagi kelompok masyarakat sipil, alasan itu tak cukup.

Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, mempertanyakan keputusan tersebut. Menurutnya, membiarkan satu tambang tetap beroperasi di pulau kecil membuka pintu pembenaran terhadap tambang-tambang lain yang hendak masuk ke wilayah serupa. “Ini akan menjadi preseden buruk,” tegasnya, Minggu, 15 Juni 2025.

Baca: Raja Ampat dan Jejak Awal Manusia Menuju Pasifik

Fenomena ini bukan hal baru. Sejak era desentralisasi pascareformasi, persoalan tumpang tindih kewenangan dan lemahnya penegakan hukum lingkungan menjadikan pulau-pulau kecil sebagai korban “zona abu-abu” kebijakan.

Susan Herawati Romica, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), menyoroti peran Mahkamah Konstitusi yang telah memperkuat larangan ini lewat putusan terhadap Pasal 35 UU Pesisir. Bahkan ketika uji materi diajukan oleh perusahaan tambang, MK tetap menolak.

Namun, tekanan hukum ternyata tak cukup ampuh melawan kepentingan politik-ekonomi. “Ada permainan elite politik dan pengusaha yang saling menguntungkan,” ujar Melky Nahar, Koordinator Nasional Jatam. Pernyataan ini memperlihatkan bahwa ketimpangan regulasi bukan hanya soal teknis birokrasi, tapi menyentuh akar relasi kuasa di baliknya.

Gelombang penolakan terhadap tambang di pulau-pulau kecil terus menguat. Selain Greenpeace dan Jatam, LHKP PP Muhammadiyah ikut bersuara lantang. Mereka menuntut pemerintah untuk mencabut seluruh izin tambang di pulau kecil, menyatakan bahwa “aturan sudah jelas, tinggal dijalankan.”

Sementara itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengakui lemahnya koordinasi antar lembaga. Menurut Ahmad Aris, Direktur Pesisir dan Pulau Kecil, celah dalam regulasi menyebabkan IUP bisa diterbitkan lebih dulu sebelum aspek lingkungan diverifikasi.

Ini menyebabkan banyak tambang telanjur legal secara administratif, meski secara ekologis menyalahi prinsip konservasi. Bertahun-tahun sejak regulasi pengelolaan wilayah pesisir disahkan, Indonesia belum menunjukkan langkah progresif dalam menghentikan pertambangan di pulau kecil.

Persoalan kini bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan pengingkaran historis terhadap visi perlindungan pulau-pulau kecil sebagai pilar keberlanjutan ekosistem nasional.

Dampak lingkungan dari pertambangan di pulau kecil termasuk kerusakan terumbu karang, penurunan kualitas perairan, erosi pantai, dan kerentanan tenggelam, kini makin diperparah oleh krisis iklim.

Jika situasi ini terus dibiarkan, Indonesia tidak hanya kehilangan pulau-pulau kecilnya, tapi juga warisan ekologis dan budaya yang terkandung di dalamnya. Pertanyaan yang menggantung kini adalah: Akankah negara akhirnya berpihak pada amanat sejarah, atau terus tunduk pada logika industri?

error: Content is protected !!