KOROPAK.CO.ID – TASIKMALAYA – Seratus hari telah berlalu sejak Viman Alfarizi Ramadhan dan Raden Diky Chandra resmi memimpin Kota Tasikmalaya. Momen yang biasanya dipenuhi dengan sorotan capaian dan arah baru pembangunan justru disambut dengan sunyi yang penuh tanya.
Dalam riuh rendah ruang publik digital, sebuah suara keras namun sarkastik datang dari kampus: Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Siliwangi (BEM Unsil).
Melalui unggahan bertajuk “Merayakan Keheningan 100 Hari Menikmati Ketenangan”, BEM Unsil menulis sebuah ironi: “Tepuk tangan paling meriah layak diberikan kepada Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tasikmalaya atas keberhasilan menjaga status quo dengan begitu elegan.”
Unggahan itu bukan sekadar kritik, melainkan bentuk satire sejarah yang mencatat bagaimana stagnansi dijadikan narasi ketenangan. Menurut mereka, diam bukan solusi, dan ketenangan bukan keberhasilan, melainkan abainya kebijakan terhadap problem nyata masyarakat.
Ketua BEM Unsil, Muhammad Risaldi, menyebut pernyataan tersebut sebagai tamparan simbolik, sebuah bentuk dakwah yang tajam namun tetap dalam bingkai keislaman yang sabar. “bukan rasa optimistis yang muncul, tapi rasa pesimistis,” tegasnya sebagaimana dilansir dari laman radartasik.
Baca: 100 Hari Kerja, Koordinasi Buruk Pemerintah Kota Jadi Sorotan HMI Tasik
Tak berhenti di kritik, BEM Unsil melampirkan enam rekomendasi strategis yang seolah menjadi kompas arah bagi kepemimpinan baru ini, mulai dari realisasi janji kampanye, reformasi pengelolaan sampah, hingga penataan ruang dan pengangkatan pejabat definitif.
Namun, sejarah kecil ini mencatat satu hal yang tidak kalah penting: diamnya tanggapan dari Pemerintah Kota. Alih-alih membuka ruang dialog, unggahan media sosial Wali Kota justru lebih sering menampilkan pencitraan visual tanpa narasi penjelas yang menyentuh kebijakan struktural.
Tasikmalaya, kota dengan tradisi kritik dan kesantunan politiknya sendiri, hari ini berdiri di antara persimpangan harapan dan kekosongan makna dari jabatan publik. Gaya memimpin Viman–Diky pun menuai tanya: bukan otoriter, bukan demokratis, melainkan serampangan kata Risaldi.
Dalam catatan historisnya, 100 hari pertama sering menjadi tolak ukur arah dan niat kepemimpinan. Di Tasikmalaya, 100 hari itu kini tercatat sebagai sebuah keheningan yang nyaring, yang menyimpan kritik, harapan, dan tanda tanya publik yang belum terjawab.











