KOROPAK.CO.ID – Di tengah gelapnya malam Desa Rantau Pandan, saat embun mulai turun dan angin membawa bau tanah basah, terdengar irama pelan bersahut-sahutan. Itulah krinok, nyanyian panjang yang melantunkan syair penuh makna, seolah menjadi suara hati masyarakat Jambi sejak masa lampau.
Bersamanya, tari tauh menari dalam keselarasan, memisahkan pemuda dan pemudi lewat seutas tali simbolis. Inilah betauh, sebuah tradisi yang telah diwariskan turun-temurun dan menyimpan nilai-nilai sosial, cinta, serta etika dalam bingkai adat yang kuat.
Tradisi ini berakar dari kehidupan masyarakat adat di Kabupaten Bungo, Jambi. Dalam bahasa lokal, “menauh” berarti “mencari”, namun bukan sekadar pencarian cinta, melainkan proses mengenal, menghargai, dan mendekati dengan kesantunan.
Tradisi ini biasanya menjadi bagian dari upacara adat lek batin, terutama dalam hajatan besar seperti pernikahan atau penyambutan tokoh penting. Di masa lalu, betauh bukan hanya ajang hiburan, melainkan media pendidikan sosial.
Melalui bait-bait pantun yang dinyanyikan dalam gaya krinok, masyarakat belajar tentang kejujuran, kasih sayang, kesabaran, dan batas dalam hubungan antarindividu.
Setiap syair bukanlah kata kosong, melainkan refleksi dari nilai-nilai hidup yang dijunjung tinggi (Lisa, 2024). Simbolisme dalam betauh terlihat nyata dalam tali pembatas antara penari pria dan wanita. Tali ini bukan sekadar pemisah, melainkan penjaga batas yang menegaskan bahwa setiap interaksi memiliki koridornya.
Baca: Tari Sekapur Sirih: Tarian Penyambutan Dari Jambi
Gerakan tari tauh yang halus, lemah gemulai, namun penuh makna, mencerminkan cara berkomunikasi yang tidak frontal, namun tetap jujur dan penuh perasaan. Namun seiring waktu, tradisi ini mulai meredup. Di era digital, di mana sapaan berubah menjadi pesan singkat dan tatapan digantikan emoji, tradisi betauh menghadapi ujian keberlangsungan.
Generasi muda lebih akrab dengan layar daripada panggung budaya. Nilai-nilai kesabaran, penghormatan, dan komunikasi halus mulai tersingkir oleh budaya instan.
Padahal, betauh mengajarkan bahwa cinta dan interaksi sosial tidak harus terburu-buru. Dalam gerakan yang dituntun adat, tumbuhlah rasa saling menghormati. Tali pembatas itu justru menciptakan ruang aman, tempat rasa tumbuh dalam ritme yang wajar dan penuh makna (Wijaya, 2019).
Tantangan pelestarian kini terletak pada bagaimana betauh bisa diterjemahkan ke dalam konteks modern tanpa kehilangan esensinya. Pemerintah dan tokoh adat memiliki peran penting: menghidupkan kembali panggung budaya, memasukkan betauh ke dalam festival, kurikulum, dan ruang-ruang publik.
Sementara generasi muda dapat mengabadikan tradisi ini dalam bentuk dokumenter, video pendek, dan platform digital lainnya. Sebagai warisan budaya tak benda, betauh adalah cermin dari keseimbangan antara adat dan cinta, antara batas dan kebebasan.
Ia mengingatkan kita bahwa dalam dunia yang terus berubah, ada nilai-nilai abadi yang tetap layak dijaga. Jika betauh adalah bahasa cinta orang Jambi, maka tali yang membentang di panggung itu adalah aksara sunyi yang mengajarkan: cinta tak perlu gaduh, cukup hadir dengan hormat.