KOROPAKCO.ID – TASIKMALAYA – Persoalan penumpukan sampah di Pasar Cikurubuk, Kota Tasikmalaya, kembali menjadi sorotan. Pada pekan ketiga Juni 2025, tumpukan sampah sempat menutup akses jalan dan mengganggu kenyamanan pengunjung pasar.
Peristiwa ini bukan yang pertama, namun menggambarkan betapa lemahnya sistem pengelolaan sampah di pusat perdagangan terbesar di kota itu.
Kepala UPT Pasar Cikurubuk, Deri Herlisana, mengakui bahwa meskipun secara langsung tidak berdampak besar terhadap aktivitas jual beli, keberadaan sampah yang menumpuk selama berhari-hari menimbulkan ketidaknyamanan bagi pedagang dan pengunjung.
“Secara langsung tidak ada efek, cuma mungkin dalam artian yang namanya pengunjung dan warga risih. Selama ini efeknya tidak terlalu signifikan, paling bau saja,” ujar Deri, dikutip dari TribunPriangan, Minggu (22/6/2025).
Deri mengungkapkan, sejak lama sebenarnya telah ada upaya pengolahan sampah di lokasi pasar. Sebuah mesin insinerator peninggalan masa Kabupaten Tasikmalaya telah dibangun, namun tak lagi berfungsi. “Sudah lama ada insinerator buat pembakaran sampah, waktu zaman masih Kabupaten, nggak tahu kenapa tidak berfungsi lagi,” katanya.
Namun upaya reaktivasi mesin pengolah itu terbentur masalah administrasi. Hingga kini, tidak ada kepastian mengenai status kepemilikan alat tersebut.
Pihak UPT sudah menanyakan baik ke Pemkab maupun Pemkot Tasikmalaya, namun kedua institusi menyatakan tidak memiliki catatan aset atas insinerator itu. “Bukan aset Pemkot juga, bahkan ditanyakan ke Pemkab juga tidak ada di aset,” jelas Deri.
Kondisi ini diperparah dengan status kepemilikan lahan pasar yang hingga kini belum resmi menjadi milik pemerintah. Proses serah terima lahan dari Mayasari ke Pemkot masih berlangsung, membuat berbagai rencana pengelolaan jangka panjang tersandera status hukum.
Pasar Cikurubuk diketahui sebagai penghasil sampah terbesar di Kota Tasikmalaya. Menurut Kepala Bidang Pengelolaan Sampah DLH Kota Tasikmalaya, Feri Arif Maulana, pasar ini menghasilkan sekitar 30 meter kubik sampah per hari, atau setara lima kontainer penuh. “Bisa tiga kali lipat dibanding pasar lain,” ungkap Feri.
Baca: DLH Kota Tasikmalaya Turun Tangan Atasi Sampah Menumpuk di Pasar Padayungan
Dengan volume sebesar itu, keterlambatan satu hari dalam pengangkutan saja bisa menimbulkan penumpukan. Hal ini yang terjadi baru-baru ini, saat dua truk pengangkut mengalami kerusakan. “Ketika ada truk rusak, pasti dampaknya sampah menumpuk,” ujarnya.
DLH telah menjalankan program Gerakan Olah Sampah Organik (GOSO) di pasar ini, namun pengurangan volume sampah masih jauh dari ideal.
Feri menyebut solusi jangka panjang adalah pembangunan fasilitas Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle (TPS 3R) di lokasi pasar. “Bagusnya memang ada TPS 3R, karena prinsipnya mengurangi itu lebih baik,” ujarnya.
Namun rencana itu lagi-lagi terganjal oleh persoalan lahan. “Penampungan sampah ini saja lahannya milik swasta,” jelasnya.
Di tengah keterbatasan, Deri berharap ada solusi inovatif untuk mengubah wajah pengelolaan sampah di Pasar Cikurubuk.
Ia mencontohkan model pengolahan di Banyumas, Jawa Tengah, di mana hasil sampah diolah menjadi bahan bernilai ekonomis seperti paving block bekerja sama dengan BUMN dan BUMD. “Hasilnya bisa menambah PAD Pemkot. Karena greget juga lihat kondisi sampah,” katanya.
Pihaknya juga menekankan pentingnya kolaborasi antarlembaga dan kesinambungan program. “Jangan sampai ketika sudah dijadikan produk tapi terbengkalai juga, tentu malah terbuang dan menjadi sampah lagi,” ujarnya.
Meski tumpukan sampah kini telah dibersihkan setelah tiga hari optimalisasi, persoalan dasarnya tetap belum terselesaikan. Tanpa sistem pengelolaan mandiri yang mapan dan dukungan infrastruktur serta regulasi yang jelas, Pasar Cikurubuk berpotensi terus berhadapan dengan krisis sampah serupa di masa depan.