Muasal

Sejarah Balai Pustaka dan Jejak Kolonial dalam Peta Sastra Nusantara

×

Sejarah Balai Pustaka dan Jejak Kolonial dalam Peta Sastra Nusantara

Sebarkan artikel ini
Sejarah Balai Pustaka dan Jejak Kolonial dalam Peta Sastra Nusantara
Doc. Foto: Goraedu

KOROPAK.CO.ID – Di tengah pergolakan masa kolonial, ketika aksara masih menjadi kemewahan dan buku-buku langka bagaikan permata, lahirlah sebuah lembaga yang kelak mencatatkan namanya dalam sejarah literasi Indonesia: Balai Pustaka.

Lembaga ini bukan sekadar penerbit, melainkan saksi zaman yang menyimpan riwayat panjang pertemuan antara kekuasaan, pengetahuan, dan bahasa rakyat. Balai Pustaka, resmi berdiri pada 22 September 1917, berawal dari upaya pemerintah Hindia Belanda untuk membendung arus literasi yang tak sejalan dengan kepentingan kolonial.

Sebelumnya, masyarakat Tionghoa peranakan telah aktif menerbitkan surat kabar dan karya sastra dalam ragam bahasa Melayu pasar, mengusik kekhawatiran penguasa. Maka, dibentuklah Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur pada 1908, cikal bakal Balai Pustaka, dengan satu misi utama: mengontrol bacaan pribumi.

Namun sejarah tak berjalan lurus. Niat membatasi justru membuka ruang baru bagi berkembangnya kesusastraan Nusantara dalam aneka bahasa daerah. Dari bahasa Jawa hingga Sunda, Madura, Bali, dan Melayu, Balai Pustaka mulai menjadi jembatan antara ragam identitas lokal dengan dunia baca yang kian menggeliat.

Katalog demi katalog dicetak. Tahun 1923, Balai Pustaka merilis 608 judul dalam empat bahasa utama: Jawa, Melayu, Sunda, dan Madura. Buku-buku ini didistribusikan melalui Taman Pustaka, perpustakaan rakyat yang menjamur hingga ribuan titik di berbagai pelosok.

Pada tahun 1931, tercatat 1.326 taman pustaka di wilayah Jawa saja, 447 di tanah Sunda, dan ratusan lainnya di daerah lain. Inovasi pun dilakukan.

Tahun 1925, Balai Pustaka mengerahkan mobil keliling, layaknya perpustakaan bergerak mengangkut buku-buku menuju kampung-kampung di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Di tengah keterbatasan, terobosan ini memperlihatkan satu hal: semangat mencerdaskan tak bisa sepenuhnya dibelenggu oleh kolonialisme.

Baca: Misi Kembalikan Prasasti Pucangan Guna Menghidupkan Warisan Nusantara

Dalam kurun 1917–1942, Balai Pustaka menyusun sistem klasifikasi buku ke dalam tiga seri: A untuk anak-anak, B untuk bacaan hiburan dan pengetahuan dasar, dan C untuk pembaca dewasa dengan kemampuan bahasa lebih tinggi. Ini bukan sekadar sistem penerbitan, melainkan bentuk pengarsipan budaya dan literasi yang rapi dan terencana.

Bukan hanya roman dan cerita rakyat yang diterbitkan. Buku-buku pengetahuan tentang kesehatan, terjemahan dari bahasa Belanda, hadir dalam bentuk yang bisa dijangkau rakyat dalam bahasa Melayu, Jawa, dan Sunda.

Ada pula buku anak-anak yang dicetak dalam aksara Latin, Jawa, dan Bali, menghadirkan cerita-cerita rakyat dan dongeng dengan sentuhan lokal yang kuat.

Tahun 1931 menandai tonggak baru: lahirnya Nemoe Karma, karya I Wayan Gobiah, sebagai novel modern pertama dalam bahasa Bali. Sebuah penanda bahwa Balai Pustaka telah merambah wilayah yang sebelumnya sunyi dari suara sastra tertulis.

Kehadiran Balai Pustaka memang tak lepas dari agenda kekuasaan kolonial. Namun dalam perjalanannya, ia tak ubahnya seperti rumah kaca tempat tumbuhnya bibit-bibit bahasa daerah dan jati diri bangsa. Melalui lembaga ini, sastra Nusantara merekam, menyuarakan, dan membentuk watak keindonesiaan dari pelosok kampung hingga halaman sekolah.

Balai Pustaka bukan sekadar warisan masa lalu. Ia adalah cermin bagaimana bahasa, kekuasaan, dan kebudayaan bersinggungan dalam narasi panjang bangsa ini. Jejaknya masih tertulis di setiap lembar buku-buku lama, yang tak sekadar mencatat huruf, tetapi juga semangat zaman.

error: Content is protected !!