Koropak.co.id – Sejak berabad-abad lamanya, tanah Jawa tidak hanya dihuni oleh penduduk asli, tapi juga turut ditempati para pendatang dari luar. Mereka membentuk kelompok masyarakat hingga terbentuk bermacam komunitas etnis.
Olivier Johannes Raap dalam bukunya “Kota Di Djawa Tempo Doeloe” menuliskan, pada umumnya para pendatang menjajal peruntungan dengan berdagang atau bekerja. Anggota keluarga hingga teman dari tempat asal mereka yang sudah terlebih dahulu bermukim kerap dijadikan sebagai batu loncatan. Itu menyebabkan adanya bidang usaha atau pekerjaan tertentu yang didominasi satu etnis.
Semua pemukiman etnis itu memiliki sejarah dan orientasi tersendiri yang berkaitan dengan keadaan politik dan ekonomi pada zamannya. Di masa VOC sekitar abad ke-17 hingga 18, banyak kampung pendatang dari luar Jawa.
VOC memanfaatkan hal itu dengan melakukan perekrutan pasukan bersenjata dimana-mana mulai dari Bugis, Ambon, Bali, Melayu dan lainnya. Selain di Batavia, mereka juga turut mendirikan pemukiman yang dijadikan sebagai kampung militer sebagai zona pertahanan tambahan.
Seperti di Surabaya dan Semarang, Kampung Melayu saat itu didirikan dekat dengan Pelabuhan. Oleh karena itulah kampung tersebut lebih dikenal dengan julukannya sebagai Kampung Pelaut dan Pedagang.
Sejak abad ke-19 dalam undang-undang administratif kolonial Hindia Belanda, sebagian masyarakat diklasifikasikan sebagai “Orang Timur Asing”. Contohnya seperti pecinan yang masuk dalam kampung etnis Timur Asing.
Selain orang Tionghoa, di Nusantara juga terdapat imigran dari Arab, India, Jepang dan negara Asia lainnya. Tercatat, beberapa koloni Arab itu juga tersebar di berbagai kota di Jawa. Mulai dari tahun 1870 pada saat Terusan Suez dibuka, banyak kapal dari Eropa ke Timur melalui Semenanjung Arab bermigrasi dengan skala besar. Di Nusantara, mereka pun menikah dengan wanita pribumi dan menetap di perkampungan Arab.
Baca : Mengungkap Jejak Pemukiman Orang Asing di Nusantara
Selain itu, terdapat juga kelompok warga Asia lainnya, yaitu orang Armenia yang berdekatan dengan orang Eropa dari sisi kebudayaan dan etnis. Dalam undang-undang kolonial, mereka dianggap sebagai Orang Eropa.
Dalam persepsi orang pribumi, mereka mengatakan bahwa semua orang berkulit putih disebut dengan londo. Akan tetapi, selain orang Belanda, ternyata di Hindia Belanda juga banyak pendatang dari Eropa Asing dan yang paling besar adalah orang Jerman.
Kemudian diikuti oleh orang Inggris, Austria, Belgia, Swiss, Italia, Perancis, Denmark dan Rusia. Mereka tidak tinggal berkelompok, tapi membaur di lingkungan Eropa bersama dengan orang Belanda.
Terkait kedatangan orang Tionghoa ke tanah Jawa, terutama pada masa VOC, tidak sedikit orang Tionghoa yang menjadi kuli. Selain berdagang, banyak di antara mereka yang menjadi tukang atau bertani. Secara keseluruhan, jumlah mereka terbilang banyak.
Hal itu membuat kompeni khawatir, sehingga dibuatlah aturan yang dikhususkan bagi pendatang dari Tionghoa. Mereka yang sudah tinggal sepuluh tahun tapi belum memiliki izin tetap akan dideportasi ke negara asalnya.
Aturan lain yang dibuat VOC adalah orang Cina dilarang menjual barang-barang Eropa atau Amerika secara langsung. Mereka hanya diperbolehkan menjadi calo. Jadi perantara antara pedagang Eropa dengan pribumi.
Namun, seiring berjalannya waktu, keadaan perlahan berubah. Orang-orang Cina mulai menguasai sektor perdagangan. Hal itu membuat waswas kolonial Belanda, sehingga muncul sentimen antiCina dan membuat gerakan memecah belah etnis-etnis yang ada di Nusantara.
Salah satu gerakan yang paling kentara adalah membagi masyarakat ke dalam tiga kelompok rasial, yakni Eropa, Timur Asing, dan pribumi. Cina dan Arab dikategorikan sebagai masyarakat dari Timur Asing.
Baca juga : Tiba di Nusantara, VOC Dirikan Pemukiman Eropa Hingga Balai Kota