KOROPAK.CO.ID – JAKARTA – Sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia kembali mencatat babak baru. Pada Kamis malam, 26 Juni 2025, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di Sumatera Utara, mengungkap dugaan korupsi proyek pembangunan jalan yang nilainya mencapai ratusan miliar rupiah.
Penindakan ini menjadi salah satu operasi terbesar yang menyasar sektor infrastruktur daerah dalam lima tahun terakhir. Operasi ini berakar dari keluhan warga akan buruknya kualitas jalan di beberapa titik wilayah Sumut.
Laporan itu menjadi pemantik rangkaian penyelidikan hingga KPK akhirnya melakukan OTT serentak di dua klaster proyek, pembangunan jalan oleh Dinas PUPR Provinsi Sumut dan preservasi jalan oleh Satker PJN Wilayah I Sumut.
Dalam pernyataan resminya, Plt Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, menyebut bahwa nilai total proyek yang menjadi sorotan mencapai Rp231,8 miliar.
Fakta ini menambah daftar panjang kasus korupsi infrastruktur di Indonesia, memperlihatkan bagaimana praktik-praktik busuk terus berlangsung meski reformasi birokrasi dan sistem digitalisasi tender telah digalakkan sejak era Presiden ke-6.
Rangkaian Proyek dan Modus Pengaturan
Sejarah kasus ini bermula pada April 2025. Saat itu, Topan Ginting, Kepala Dinas PUPR Sumut, bersama bawahannya Rasuli Efendi Siregar (RES), melakukan peninjauan proyek di Sipiongot bersama M. Akhirun Pilang (KIR), Direktur Utama PT DNG. Tanpa proses lelang resmi, proyek jalan senilai Rp157,8 miliar diberikan langsung kepada PT DNG.
Modus serupa sudah dikenal dalam catatan-catatan lama kasus pengadaan barang dan jasa: penyalahgunaan sistem e-katalog, manipulasi pemenang tender, hingga pembentukan jaringan rente yang melibatkan keluarga, seperti keterlibatan M. Rayhan Dulasmi Pilang (RAY), anak KIR sekaligus Direktur PT RN.
Dalam perkembangan lainnya, Heliyanto (HEL), Pejabat Pembuat Komitmen di Satker PJN Wilayah I, juga terseret. Ia diduga menerima Rp120 juta dari KIR dan RAY untuk memenangkan perusahaan milik keluarga Pilang dalam proyek strategis jalan nasional.
Uang, Jabatan, dan Penyimpangan Sistem
Praktik-praktik ini mencerminkan penyimpangan sistem yang telah berlangsung lama. Total uang tunai Rp231 juta yang berhasil diamankan KPK diyakini hanya sebagian kecil dari komitmen fee yang seharusnya mengalir kepada para pejabat yang terlibat.
Baca: Baru Menjabat Tiga Bulan, Bupati Kolaka Timur Terjaring OTT KPK
Penahanan lima tersangka berinisial TOP, RES, HEL, KIR, dan RAY menjadi bukti betapa sistem pengadaan masih dapat dikompromikan lewat persekongkolan jabatan.
Tak hanya mencerminkan korupsi pada tataran teknis, kasus ini juga menggambarkan lemahnya pengawasan internal di tingkat pemerintah provinsi. Dalam sejarahnya, banyak kasus korupsi serupa yang bermuara pada lemahnya kontrol kepala daerah atau pemangku kebijakan tingkat atas.
Apakah Gubernur Bobby Akan Diperiksa?
Salah satu babak penting dalam dinamika penanganan kasus ini adalah kemungkinan pemeriksaan terhadap Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution. Hingga kini, belum ada bukti langsung yang mengaitkan Bobby, namun KPK membuka opsi pemeriksaan apabila keterangannya dibutuhkan untuk menelusuri lebih jauh peran birokrasi tingkat atas.
“Kalau memang bergerak ke salah satu orang, misal ke Kadis lain, atau gubernurnya. Tentu akan kami minta keterangan, kami akan panggil,” tegas Asep.
Sejak KPK berdiri pada 2003, pemeriksaan kepala daerah selalu menjadi sorotan. Pemeriksaan terhadap kepala daerah atau pejabat tinggi menjadi tonggak penting dalam membongkar alur korupsi yang kompleks dan hirarkis.
Babak Baru Perlawanan Antikorupsi
Kasus ini menambah daftar panjang sejarah pemberantasan korupsi di bidang infrastruktur—sektor yang sejak masa Orde Baru hingga reformasi dikenal sebagai lahan basah penyimpangan anggaran.
Dalam perspektif historis, OTT Sumut 2025 memperlihatkan dua hal: masih kuatnya budaya rente dalam pembangunan daerah, dan masih berjalannya peran KPK sebagai penjaga integritas publik meski tekanan terhadap lembaga ini terus bergulir dalam satu dekade terakhir.
Pertanyaannya kini bukan hanya siapa yang akan dipanggil berikutnya, tetapi apakah sistem pengawasan dan pencegahan di daerah akan diperbaiki secara struktural. Jika tidak, sejarah akan kembali mencatat kisah serupa berulang dan tak pernah tuntas.