KOROPAK.CO.ID – Perahu-perahu dengan layar putih yang runcing menembus angin Laut Mandar, memamerkan kelincahan yang telah diwariskan lintas generasi. Perahu ramping dengan dua cadik itu dikenal sebagai lopi sandeq, perahu tradisional suku Mandar yang mendiami pesisir Sulawesi Barat.
Sejarawan Christian Pelras dalam The Bugis menyebut Mandar sebagai pelaut ulung, bukan karena teknologi modern, melainkan kearifan dalam menciptakan teknologi lokal seperti rumpon (roppong) dan sandeq.
Sandeq adalah hasil evolusi panjang dari perahu tradisional Mandar: baqgo, palari, lambo, hingga pakur. Pakur, cikal bakal sandeq, dikenal sebagai warisan nenek moyang suku Mandar sekaligus suku Austronesia. Perahu ini memiliki cadik dan layar tanjaq berbentuk segi empat. Namun bentuknya yang lebih lebar membuatnya kurang lincah di laut lepas.
Transformasi terjadi pada sekitar tahun 1930-an, ketika pelaut Mandar berlayar hingga Makassar, Surabaya, dan Tumasik (Singapura) pada masa penjajahan.
Di sana mereka menjumpai layar segitiga ala kapal Eropa dan mengadopsinya sebagai inovasi. Muncullah sandeq yang berarti runcing dengan layar segitiga yang disebut massa’ndeq. Desa Pambusuang dan Karama di Polewali Mandar sejak itu menjadi pusat pembuatan perahu ini.
Sesuai namanya, sandeq memiliki haluan tajam dengan dua cadik yang menjaga keseimbangan saat dihantam ombak. Cadik yang disebut baratang dipasang di haluan dan tengah badan perahu. Ukurannya kini mencapai panjang hingga 11 meter dengan lebar sekitar 60 sentimeter.
Baca: Perahu Bidar Palembang, Ada Cerita Tentang Dayang Merindu
Kecepatan sandeq menjadi kebanggaan masyarakat Mandar. Dengan lambung runcing dan cadik melengkung ke atas, sandeq mampu melaju 15–20 knot, kecepatan yang melampaui banyak perahu layar tradisional di Nusantara.
Material utamanya berasal dari kayu tippulu, palapi, dan maqdang dari wilayah Mamuju, pilihan yang kuat dan ringan. Selain ketelitian teknis, proses pembuatannya juga melibatkan aspek spiritual seperti pemilihan waktu penebangan kayu yang diselaraskan dengan fase bulan purnama.
Dulunya, sandeq adalah alat utama nelayan Mandar untuk menangkap ikan dengan tiga jenis fungsi antara lain sandeq pangoli untuk wilayah pesisir, sandeq paroppo untuk laut lepas, dan sandeq potangnga khusus menangkap ikan terbang.
Cat putih pada sandeq melambangkan kesucian dan kebersihan. Namun, modernisasi telah menggeser fungsi sandeq. Kapal bermesin kini lebih banyak dipakai karena unggul dalam kapasitas hasil tangkapan.
Perahu sandeq terakhir untuk aktivitas melaut dicatat dibuat pada tahun 2000. Namun sandeq tak pernah hilang dari kehidupan masyarakat Mandar. Setiap tahun, mereka menyelenggarakan lomba sandeq dengan jarak tempuh 480 kilometer, sebuah tradisi bahari yang menjadi ajang silaturahmi pelaut Mandar, Bugis, dan Bajau.
Di laut luas itulah, sandeq terus berlayar, bukan sekadar perahu, tetapi simbol identitas, ketangguhan, dan ingatan purba masyarakat maritim Nusantara.











