KOROPAK.CO.ID – Keberagaman gender ternyata telah lama hidup dalam kebudayaan kuno Bugis. Tidak hanya dua sebagaimana kategori modern, masyarakat Bugis mengenal lima gender, dengan salah satu posisi sentral dipegang oleh Bissu.
Sosok ini diyakini bukan laki-laki dan bukan perempuan, melainkan figur liminal yang menjadi penghubung manusia dengan dunia para dewa.
Jejak Awal dan Peran dalam Kerajaan Bugis
Kisah Bissu melekat pada mitologi asal mula manusia Bugis. Dalam narasi turun-temurun, To manurung, manusia pertama yang turun ke bumi Sulawesi diyakini hadir bersama para Bissu. Mereka dipercaya menggunakan Basa Torilangi (Bahasa Orang Langit) untuk menjadi penyambung pesan para dewata.
Dikutip dari prosiding HISPISI tahun 2016, Bissu terlibat dalam membesarkan kerajaan-kerajaan Bugis sebagai pelayan raja dan pengabdi masyarakat.
Jejak itu tampak dalam perannya pada beragam ritus penting, seperti mappalili (penanaman padi), mappadendang (panen), kelahiran, perkawinan, kematian, hingga tolak bala dan berbagai upacara persembahan.
Di masa kejayaannya, setiap kerajaan memerlukan kehadiran Bissu untuk mengawasi kekuasaan dan memberi legitimasi spiritual. Selain menjadi penutur tradisi sastra lisan seperti sureq (nyanyian) La Galigo, Bissu juga menjaga arajang, pusaka simbol kekuasaan yang menjadi garis penghubung antara raja dengan dunia ketuhanan.
Islamisasi dan Perubahan Struktur Kekuasaan
Ketika Islam mulai memasuki Sulawesi melalui Kerajaan Gowa, proses awal berjalan secara damai. Pendekatan tasawuf memungkinkan keyakinan lokal hidup berdampingan dengan ibadah baru. Namun kehadiran kelompok Islam fundamentalis mengubah suasana. Posisi Bissu mulai dipersoalkan, identitasnya dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai agama.
Di tingkat sosial-politik, islamisasi membawa penyesuaian tata upacara kerajaan dan membatasi pihak-pihak yang boleh terlibat dalam ritual, membuat Bissu semakin tersisih. Sebagian memilih meninggalkan lingkungan istana dan hidup sebagai warga biasa.
Operasi Toba’ 1966: Luka Sejarah
Baca: Mengenal Sanro, Dukun Penyembuh dari Suku Bugis
Tekanan terhadap Bissu mencapai puncaknya pada 1966. Kahar Muzakkar bersama laskar DI/TII yang menganut Islam garis keras menggulirkan Operasi Toba’ (Tobat), misi yang secara eksplisit menyasar kelompok ini. Bissu dianggap menghidupkan feodalisme dan mempertahankan keyakinan yang dinilai menyimpang.
Laskar memburu mereka, merampas simbol-simbol atribut Bissu, dan menenggelamkannya ke laut. Ancaman itu menyisakan dua pilihan: kembali ke kodrat laki-laki atau kehilangan nyawa. Banyak Bissu memilih bersembunyi di hutan, sementara sebagian lainnya tetap mempertahankan keyakinan meskipun menghadapi kematian.
Peristiwa tersebut meninggalkan trauma panjang dalam komunitas Bissu. Sebagian kemudian beradaptasi, termasuk dengan memeluk Islam agar dapat diterima dalam kehidupan sosial yang baru.
Bissu di Era Modern: Bertahan di Tengah Minim Regenerasi
Di masa kini, Bissu menghadapi tantangan baru: regenerasi yang tidak pasti. Identitas Bissu bukan diwariskan secara turun-temurun, melainkan lahir dari panggilan spiritual. Generasi muda tak lagi banyak yang merasa dipilih atau terpanggil.
Nilai-nilai modern yang cenderung mengakui hanya dua identitas gender, laki-laki dan perempuan kian meminggirkan keberadaan Bissu. Peminggiran juga terjadi pada sisi kesejahteraan. Peralihan dari sistem kerajaan ke negara modern memutus sumber nafkah tradisional.
Dikutip dari publikasi National Geographic, Pasal 33 UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 mengubah pola kepemilikan tanah ulayat yang selama ini menopang kebudayaan Bugis menjadi milik pemerintah.
Akibatnya, banyak Bissu menghidupi diri dengan bekerja sebagai perias pengantin, membuka salon, hingga terlibat dalam program kebudayaan pemerintah.
Kini, jejak Bissu sebagian besar baru terlihat ketika ada perhelatan budaya atau acara seremonial. Kehadiran mereka tidak lagi menembus urat nadi kehidupan sosial seperti ratusan tahun lalu.
Namun keberadaan Bissu tetap menjadi pengingat bahwa dalam kebudayaan Bugis, identitas manusia tidak pernah tunggal. Bissu adalah representasi keterhubungan manusia dengan alam, kosmos, dan keberagaman makna kehidupan yang kini tengah berjuang agar tidak lenyap dari ingatan kolektif.











