KOROPAK.CO.ID – JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menorehkan catatan penting dalam sejarah pemilihan kepala daerah di Indonesia dengan menolak gugatan sengketa hasil Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Tasikmalaya 2024 yang diajukan pasangan calon nomor urut 1, Iwan Saputra dan Dede Muksit Aly.
Putusan ini dibacakan dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Senin, 26 Mei 2025, dan menjadi titik akhir dari perjalanan hukum yang mereka tempuh sejak PSU dilaksanakan.
Penolakan tersebut mempertegas posisi MK sebagai penjaga konstitusi dan penafsir tunggal terhadap produk hukumnya sendiri. Dalam perkara bernomor 321/PHPU.BUP-XXIII/2025, MK menyatakan permohonan Iwan-Dede tidak memenuhi ketentuan hukum acara dan tidak beralasan menurut hukum.
Ketua MK Suhartoyo dalam amar putusannya menekankan pentingnya memahami putusan Mahkamah secara in totum, atau menyeluruh, bukan sepotong-sepotong. Prinsip ini, kata dia, merupakan kaidah fundamental dalam menjaga konsistensi dan integritas putusan pengadilan.
“Tidak dibenarkan menafsirkan amar putusan secara parsial, apalagi sampai menimbulkan konsekuensi hukum yang bertentangan dengan isi pertimbangan Mahkamah sendiri,” ujar Suhartoyo.
Putusan ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah keputusan sebelumnya, yakni Putusan MK Nomor 132/PHPU.BUP-XXIII/2025, yang mendiskualifikasi calon bupati petahana Ade Sugianto. Dalam amar putusan tersebut, Mahkamah memerintahkan partai politik pengusung untuk mengganti Ade, namun tetap mempertahankan calon wakil bupati, Iip Miptahul Paoz.
“Jangankan mengganti pasangan calon lain, mengganti calon wakil bupati dari pasangan Ade Sugianto yang sudah didiskualifikasi saja tidak dibenarkan,” tegas Suhartoyo.
Artinya, menurut Mahkamah, tidak ada dasar hukum untuk membuka kembali pendaftaran pasangan calon lain, apalagi melakukan verifikasi ulang terhadap mereka yang telah sah sebelumnya.
Salah satu argumentasi utama Iwan-Dede dalam gugatannya adalah tudingan adanya praktik politik uang yang terjadi secara masif di 351 desa. Namun Mahkamah menyatakan dalil itu tidak didukung oleh bukti yang kuat dan konkret. Tidak ada kejelasan mengenai lokasi, identitas pelaku, nilai transaksi, maupun dokumentasi yang valid.
Baca: Ikuti Deklarasi Damai Pilkada Tasikmalaya, Paslon Sepakat Jaga Kondusivitas!
“Dalil yang disampaikan tidak didukung bukti yang cukup, sehingga tidak dapat dijadikan dasar untuk membatalkan hasil PSU,” ujar Suhartoyo.
Selain tidak memenuhi pembuktian substansi, permohonan Iwan-Dede juga tersandung masalah formil. MK menilai mereka tidak memenuhi syarat pengajuan sengketa berdasarkan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang batas selisih suara antar calon.
“Atas dasar keseluruhan pertimbangan, Mahkamah menyatakan permohonan tidak dapat diterima,” kata Suhartoyo mengakhiri pembacaan putusan.
Gugatan ini bermula dari keberatan Iwan-Dede atas Keputusan KPU Kabupaten Tasikmalaya Nomor 35 Tahun 2025, yang menetapkan hasil PSU Pilkada 2024. Mereka menilai KPU tidak menjalankan PSU sesuai dengan putusan MK, karena hanya mengganti calon bupati dan bukan membuka ulang keseluruhan proses pencalonan.
Namun dalam sidang sebelumnya pada 15 Mei 2025, MK telah menyatakan bahwa tidak ada kewajiban hukum untuk mengulang seluruh proses pencalonan. KPU tetap menetapkan tiga pasangan calon untuk PSU: Cecep Nurul Yakin–Asep Sopari, Iwan Saputra–Dede Muksit Aly, dan Ai Diantani Ade Sugianto–Iip Miptahul Paoz.
Dengan ditolaknya permohonan ini, proses PSU yang telah dilaksanakan KPU Tasikmalaya dinyatakan sah. Putusan MK ini sekaligus menutup ruang sengketa dari pihak Iwan-Dede dan mempertegas bahwa seluruh proses harus tunduk pada prinsip keutuhan amar dan pertimbangan Mahkamah demi menjamin kepastian hukum dalam demokrasi lokal.
Putusan ini tidak hanya berdampak pada Pilkada Tasikmalaya, tetapi juga menjadi preseden penting dalam sengketa pemilihan kepala daerah di masa mendatang. MK mengirimkan pesan tegas: setiap penafsiran terhadap putusan pengadilan harus mengindahkan kesatuan logika dan norma yang tertuang di dalamnya.
Dengan demikian, sejarah mencatat satu lagi momen krusial dalam dinamika hukum pemilu Indonesia, di mana Mahkamah menegakkan prinsip in totum sebagai pagar hukum terhadap tafsir yang menyimpang.