KOROPAK.CO.ID – TASIKMALAYA – Polemik Perkuliahan Jarak Jauh (PJJ) kembali membetot perhatian, kali ini datang dari kampus-kampus Islam swasta di Kabupaten Tasikmalaya. Regulasi yang kabur dinilai menjadi ancaman serius bagi eksistensi dan mutu pendidikan di perguruan tinggi daerah.
“Regulasi yang tidak jelas ini akan menimbulkan permasalahan kompleks, terutama menyangkut kualitas pembelajaran yang jauh dari standar nasional,” kata Ojang Oo Muptiah, dosen Universitas Islam KH Ruhiat (UNIK) Cipasung, sebagaimana dilansir dari laman Radar, Rabu, 16 Juli 2025.
Kekhawatiran Ojang bukan tanpa alasan. Ia menilai keberadaan kampus-kampus yang menyelenggarakan PJJ tanpa kontrol ketat dari negara telah menggerus kepercayaan publik terhadap kampus konvensional, terutama yang berbasis lokal.
“PJJ seharusnya jadi solusi, bukan menciptakan oposisi baru dalam sistem pendidikan tinggi,” ujar Ojang. Ia mendesak Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) untuk segera melakukan evaluasi dan perumusan ulang regulasi terkait.
Nada serupa datang dari Rektor Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM) Suryalaya, Dr. Asep Salahuddin. Ia menuding praktik PJJ yang tidak mengikuti aturan justru menelantarkan hak-hak dasar mahasiswa.
“Mahasiswa hanya dituntut menunaikan kewajiban, tapi haknya tidak terpenuhi. Ini jelas bentuk ketidakadilan,” kata Asep.
Ia menyebut, pendidikan tinggi bukan sekadar soal akreditasi dan ijazah, melainkan ruang tumbuh ekosistem akademik dari perpustakaan, interaksi dosen-mahasiswa, hingga etika pembelajaran.
Bagi Asep, menjamurnya kelas-kelas jarak jauh tanpa standar adalah gejala dari tata kelola pendidikan tinggi yang timpang. Ia mendorong adanya dialog lintas sektor untuk menyusun ulang kebijakan PJJ secara lebih adil dan terukur.
“Kalau dibiarkan, ini akan mematikan kampus-kampus di daerah yang sudah berusaha menjaga kualitas,” ujar Asep.
Regulasi PJJ yang longgar, menurut dua akademisi ini, bukan sekadar soal teknis. Tapi juga soal keadilan struktural dalam distribusi akses pendidikan. Di satu sisi membuka peluang, di sisi lain menciptakan ketimpangan. Negara, tegas mereka, tak bisa lagi tinggal diam.











