KOROPAK.CO.ID – BALI – Dunia pendidikan kembali berduka. Seorang mahasiswa Universitas Udayana (Unud), berinisial TAS, diduga mengakhiri hidupnya dengan melompat dari lantai gedung fakultas. Namun duka itu berubah menjadi amarah publik, setelah percakapan sejumlah mahasiswa yang menertawakan kematian TAS tersebar luas di media sosial.
Dalam tangkapan layar yang beredar, beberapa mahasiswa lintas fakultas diantaranya FISIP, FKP, dan Kedokteran, terlihat menulis komentar bernada olok-olok.
Mereka menertawakan bahkan membandingkan fisik korban. Sikap tak berempati ini menuai kecaman keras, terlebih karena beberapa di antara mereka diketahui aktif dalam organisasi kemahasiswaan. Perilaku itu tentunya mencederai nilai kemanusiaan dan marwah kampus.
Sanksi dari Kampus
Gelombang kemarahan publik memaksa pihak kampus bertindak. Dalam sidang organisasi mahasiswa (ormawa) yang dipimpin Wakil Dekan III FISIP Unud, I Made Anom Wiranata, enam mahasiswa yang terlibat dijatuhi sanksi. Nilai soft skill mereka dikurangi selama satu semester.
“Saya sudah sampaikan agar diberi sanksi pengurangan nilai soft skill. Semester depan mereka boleh kuliah seperti biasa,” ujar Anom melalui siaran langsung akun Instagram @dpmfisipunud, Kamis (16/10/2025).
Selain sanksi akademik, para mahasiswa diwajibkan membuat surat pernyataan dan video permohonan maaf. Namun langkah itu tak menghentikan badai kritik. Banyak pihak menilai hukuman tersebut terlalu ringan untuk tindakan yang mencederai empati.
Gelombang Pemecatan
Tekanan publik akhirnya mendorong organisasi mahasiswa bertindak lebih tegas. Enam mahasiswa Unud dipecat dari seluruh jabatan organisasi. Empat di antaranya merupakan pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik (Himapol) FISIP Unud. Mereka diberhentikan tidak dengan hormat oleh kabinet Cakra.
Mereka adalah Kepala Departemen Eksternal, Maria Victoria Viyata Mayos, Kepala Departemen Kajian, Aksi, Strategis, dan Pendidikan, Muhammad Riyadh Alvitto Satriyaji Pratama, Wakil Kepala Departemen Minat dan Bakat, Anak Agung Ngurah Nanda Budiadnyana, serta Wakil Kepala Departemen Eksternal, Vito Simanungkalit.
“Keputusan ini sebagai bentuk sikap tegas terhadap tindakan amoral yang mencoreng nama himpunan,” demikian pernyataan resmi Himapol FISIP Unud.
Baca: Mengenang Empat Mahasiswa yang Tewas di Tragedi Trisakti 1998
Langkah serupa dilakukan Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FISIP dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FKP. Salah satu mahasiswa Fakultas Kedokteran yang ikut mengejek korban bahkan dikeluarkan dari program koas di RSUP Prof Ngoerah, Denpasar.
“Kami mengembalikan peserta didik tersebut ke Universitas Udayana untuk investigasi lebih lanjut,” ujar Plt Direktur RSUP Prof Ngoerah, I Wayan Sudana.
Kemendiktisaintek Turun Tangan
Kasus ini juga menarik perhatian Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Ditjen Dikti Kemdiktisaintek).
Juru bicara Dikti, Khairul, memastikan pihaknya telah berkoordinasi dengan pimpinan universitas. “Kami berduka dan meminta agar penanganan dilakukan dengan objektif, transparan, dan berkeadilan,” ujarnya.
Ditjen Dikti menekankan pentingnya fungsi Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (PPK) di lingkungan kampus sebagaimana diatur dalam Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024.
Suara dari Keluarga
Sementara itu, keluarga TAS menuntut kejelasan. Lukas Diana Putra, ayah korban, mendatangi Polresta Denpasar untuk mencari kepastian soal kronologi kematian anaknya. “Saya ingin tahu, kenapa anak saya jatuh? Apakah bunuh diri, kecelakaan, atau ada unsur lain?” katanya dengan nada getir.
Ia mengaku belum mendapatkan jawaban memadai dari pihak kampus. “Kami hanya ingin kebenaran dan kejelasan penyebab kematian anak kami,” ujarnya.
Tragedi TAS membuka luka lama dunia Pendidikan. Ketika tekanan akademik, sosial, dan digital menjadi campuran mematikan di ruang-ruang kampus. Namun di atas segalanya, kasus ini memperlihatkan satu hal paling menakutkan yakni hilangnya empati di antara kaum terdidik.