KOROPAK.CO.ID – JAKARTA – Di antara kepulan kabut asap yang kerap melingkupi langit Riau, kini muncul kabut lain: kabut korupsi yang belum juga sirna dari pemerintahan daerah itu. Empat kali berturut-turut, kursi Gubernur Riau terseret kasus korupsi.
Yang terbaru, Abdul Wahid, resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Keprihatinan mendalam datang dari Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya.
“Riau ini sangat prihatin. Ini sudah empat kali kasus korupsi gubernur,” ujar Bima Arya kepada wartawan, Jumat (7/11/2025).
Nada suaranya datar, tetapi jelas terasa getir. Bagi Bima, apa yang terjadi di Riau bukan sekadar pelanggaran individu, melainkan gejala sistemik yang mencerminkan adanya keretakan dalam tata kelola pemerintahan daerah.
Rekrutmen dan Pengawasan di Persimpangan
Menurut Bima, pemerintah pusat perlu melakukan evaluasi menyeluruh, mulai dari mekanisme rekrutmen hingga sistem pengawasan kepala daerah.
“Ini artinya kembali lagi kita harus melakukan evaluasi secara menyeluruh mulai dari rekrutmen kepala daerah, sistem pemilihan sampai sistem pengawasan pemerintahan,” katanya.
Bima menegaskan, upaya pencegahan sebenarnya telah berulang kali dilakukan. Kementerian Dalam Negeri bersama KPK, Kejaksaan, dan BPKP, katanya, sudah membangun sistem pencegahan sejak lama. “Sudah sering pemerintah pusat terutama Kemendagri mengingatkan dan memberikan arahan kepada kepala daerah,” ujarnya.
Ia bahkan menyinggung retret Magelang, forum pembinaan kepala daerah yang digagas pemerintah pusat untuk memperkuat integritas. “Sistem pencegahan juga sudah dibangun bersama-sama KPK, Kejaksaan, BPKP, dan lain-lain. Sejak retret Magelang sudah diingatkan untuk tidak korupsi,” imbuhnya.
Namun, seperti pepatah lama di tanah Melayu: pesan boleh diulang, tapi godaan tak selalu ditahan.
Abdul Wahid dan Bayang-Bayang Empat Nama
Baca: Belum Setahun Menjabat, Gubernur Riau Abdul Wahid Terjaring OTT KPK
Abdul Wahid, yang kini menjadi Gubernur Riau keempat tersandung perkara korupsi, ditetapkan KPK bersama Dani M. Nursalam (Tenaga Ahli Gubernur) dan M. Arief Setiawan, Kepala Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau, sebagai tersangka dugaan pemerasan dan/atau penerimaan gratifikasi.
Bagi KPK, kasus ini adalah cermin suram dari sebuah pola yang berulang. “Ini adalah keprihatinan bagi kami, pertama, sudah empat kali ya ada empat gubernur yang ditangani terkait tindak pidana korupsi dengan yang ini ya,” kata Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (5/11).
Ia berharap kasus Abdul Wahid menjadi peringatan keras bagi pejabat di Riau. “Perkaranya berbeda-beda, tapi berulang seperti itu. Kita berharap, setop,” katanya tegas.
Tiga nama sebelumnya yang juga pernah duduk di kursi yang sama adalah Saleh Djasit, Rusli Zainal, dan Annas Maamun, tiga babak berbeda dari satu naskah panjang yang sama: penyalahgunaan kekuasaan di bumi Lancang Kuning.
Riau dan Kutukan Kekuasaan Lokal
Bagi banyak pengamat, Riau adalah contoh paradoks daerah kaya sumber daya tapi miskin integritas. Sejak era otonomi daerah, provinsi ini menikmati limpahan dana besar dari sektor migas dan kehutanan. Namun di baliknya, pola patronase politik dan transaksi kekuasaan lokal tumbuh subur.
Setiap pergantian gubernur membawa harapan baru, dan sayangnya, sering kali juga membuka babak baru kasus korupsi.
Bima Arya tak ingin siklus itu terus berulang. “Kita harus belajar dari kasus Riau ini,” katanya, “bukan hanya menyesali, tapi memperbaiki dari akarnya.”
Namun memperbaiki akar tentu tak mudah ketika tanah tempat pohon itu tumbuh sudah lama retak. Kini, publik Riau kembali menunggu: apakah penangkapan Abdul Wahid akan menjadi titik balik menuju pemerintahan yang bersih, atau sekadar satu bab lagi dalam sejarah panjang kejatuhan para gubernur Riau?











