KOROPAK.CO.ID – JAKARTA – Hujan yang semestinya membersihkan udara ibu kota, kini justru membawa zat tak kasat mata: mikroplastik. Partikel plastik berukuran mikron itu ditemukan melayang di udara, lalu turun bersama air hujan dan berpotensi masuk ke tubuh manusia.
Temuan ini diungkap Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (ECOTON) bersama Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) lewat kajian yang dilakukan Mei hingga Juli 2025.
Dari 18 kota yang diteliti, Jakarta Pusat menempati peringkat pertama dengan rata-rata 37 partikel mikroplastik per 9 sentimeter persegi selama dua jam pengamatan. “Udara Jakarta sudah jenuh oleh partikel plastik,” ujar Kepala Laboratorium ECOTON, Rafika Aprilianti, Kamis (23/10/2025).
Ia menyebut, tingginya kadar mikroplastik di udara berbanding lurus dengan kandungan mikroplastik dalam air hujan. “Air hujan menyerap apa yang ada di atmosfer, termasuk plastik halus yang beterbangan.”
Sampel udara Jakarta diambil di tiga titik: Pasar Tanah Abang, Sawah Besar, dan Ragunan. Tanah Abang disebut sebagai “hotspot” pencemaran mikroplastik—perpaduan antara padatnya lalu lintas, aktivitas bongkar muat tekstil sintetis, dan penggunaan plastik sekali pakai.
Penjelasan ilmiah datang dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Menurut pengamat atmosfer Dwi Atmoko, mikroplastik termasuk dalam kategori aerosol, partikel padat yang tersuspensi di udara. “Partikel ini bisa berpindah mengikuti arah angin, lalu turun ke bumi melalui hujan,” ujarnya.
BMKG menyebut ada dua mekanisme utama penurunan partikel: deposisi kering, ketika mikroplastik jatuh karena gravitasi; dan deposisi basah, ketika partikel menjadi inti pembentuk awan dan ikut terbawa air hujan.
Satelit pengamat atmosfer CALIPSO bahkan mendeteksi partikel aerosol bisa mencapai ketinggian 15 kilometer. Artinya, mikroplastik dari Jakarta bisa saja jatuh di kota lain dan sebaliknya.
Fenomena ini dikenal sebagai pollutant transport. “Polutan bisa berpindah lintas wilayah. Mikroplastik yang ditemukan di Jakarta belum tentu berasal dari Jakarta sendiri,” ujar Dwi.
Hasil riset BRIN menambah lapisan kekhawatiran baru. Profesor riset BRIN, Muhammad Reza Cordova, mencatat peningkatan kadar mikroplastik hingga lima kali lipat dalam air hujan di Muara Angke antara 2015 hingga 2022.
Baca: Jakarta dan Monumen yang Membisu di Tengah Laju Kota
Sumbernya, kata Reza, berasal dari tempat pembuangan akhir (TPA) yang masih mengandalkan sistem terbuka (open dumping). “Sinar matahari memecah plastik di tumpukan sampah menjadi partikel halus. Angin kemudian membawa partikel itu ke udara,” tuturnya.
Ia menambahkan, mikroplastik juga bisa berasal dari rumah tangga—serat pakaian sintetis, debu ban kendaraan, dan pembakaran sampah plastik. Partikel itu kemudian larut dalam hujan, mengalir ke sungai, lalu ke laut. “Mikroplastik ini seperti roh plastik: kecil, ringan, tapi tidak pernah hilang,” kata Reza.
Dinas Kesehatan DKI Jakarta mulai mengaitkan mikroplastik dengan gangguan kesehatan serius.
Menurut Rahmat Aji Pramono, Ketua Subkelompok Penyehatan Lingkungan Dinkes DKI, partikel yang masuk ke tubuh bisa menyebabkan peradangan organ, memperparah penyakit jantung, hingga meningkatkan risiko stroke, terutama pada penderita diabetes.
“Mikroplastik bisa menempel di pembuluh darah. Bila terjadi perlukaan di jantung atau otak, risikonya bisa fatal,” katanya.
Ia menekankan, efek paparan mikroplastik tidak muncul seketika. “Ini akumulatif. Mungkin baru terasa setelah bertahun-tahun,” katanya.
Pemerintah DKI Jakarta mengakui persoalan ini tidak sederhana. Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI, Asep Kuswanto, mengatakan pihaknya telah meminta seluruh pabrik menambah alat penyaring polutan (scrubber) serta sistem pemantauan emisi otomatis (Continuous Emission Monitoring System / CEMS).
“Kalau ditemukan emisi yang melebihi ambang batas, kami berikan sanksi, dari administratif hingga penutupan,” ujarnya.
Namun bagi para peneliti, kebijakan itu baru menyentuh permukaan. Mikroplastik sudah terlanjur menjadi “hujan baru” di langit Jakarta, hujan plastik yang turun tanpa suara, tapi meninggalkan jejak panjang pada tanah, air, dan tubuh manusia.











