KOROPAK.CO.ID – Jakarta, kota yang tumbuh dari pelabuhan kecil di tepian Kali Ciliwung pada abad ke-14, kini menjadi metropolitan yang tak pernah tidur. Di balik gedung pencakar langit dan lalu lintas yang padat, berdiri patung-patung dan monumen yang menyimpan narasi panjang perjuangan, nasionalisme, dan jati diri bangsa.
Mereka hadir sebagai saksi bisu sejarah Indonesia tegak di trotoar, di bundaran, di simpang jalan, namun kerap terlupakan. Salah satu patung paling ikonik adalah Patung Selamat Datang di Bundaran HI, hasil rancangan Henk Ngantung dan Edhi Sunarso.
Dibuat menjelang Asian Games IV tahun 1962, patung ini mencerminkan semangat keterbukaan dan keramahan bangsa Indonesia. Patung setinggi 10 meter ini tak hanya simbol penyambutan, melainkan juga penanda keterlibatan Indonesia dalam ajang internasional pasca-kemerdekaan.
Tak jauh dari sana, di kawasan Pancoran, berdiri Patung Dirgantara. Dirancang pada masa Presiden Soekarno antara tahun 1964–1966 oleh Edhi Sunarso, patung ini melambangkan semangat kedirgantaraan Indonesia.
Konon, Soekarno bahkan menjual mobil pribadinya untuk membiayai proyek tersebut. Kini, patung ini menjadi salah satu penanda visual yang kuat di tengah kemacetan ibu kota.
Patung Jenderal Sudirman dan Patung Pemuda Membangun berdiri megah di sepanjang Jalan Sudirman. Yang pertama menggambarkan semangat kepahlawanan, sementara yang kedua menjadi simbol optimisme pembangunan. Keduanya mewakili generasi yang pernah dan akan terus membentuk republik ini.
Di Menteng, terdapat Tugu Tani atau dikenal sebagai Patung Pahlawan, karya seniman Uni Soviet, Matvey dan Ossip Manizer, pada 1963. Patung seorang petani dengan caping dan senapan, didampingi perempuan, menggambarkan partisipasi rakyat dalam perjuangan kemerdekaan.
Baca: Ada Semangat Patriotisme, Monas Bukan Sekadar Tugu
Kemudian di kakinya terpatri kutipan Bung Karno: “Hanya bangsa yang menghargai pahlawannya dapat menjadi bangsa besar.” Lebih baru, Patung MH Thamrin berdiri sejak 2012 di ujung utara Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat.
Sosok pejuang asal Betawi ini diabadikan dalam bentuk figur tegap berjas dan berpeci, sebagai pengingat perjuangannya mewakili kepentingan rakyat kecil dalam masa kolonial.
Namun, dari ratusan patung yang tersebar di Jakarta, hanya sebagian yang berstatus cagar budaya. Banyak di antaranya belum dilengkapi informasi kontekstual atau narasi sejarah yang dapat diakses publik.
Di tengah riuhnya arus modernisasi, eksistensi mereka kerap terabaikan. Misalnya, kritik publik sempat mencuat saat halte Transjakarta Bundaran HI dinilai menutupi pandangan terhadap Patung Selamat Datang.
Sebagai respons, DPRD DKI Jakarta kini mendorong konservasi patung dan monumen melalui pendekatan teknologi dan budaya. Pemanfaatan QR code, augmented reality, atau tur sejarah interaktif diharapkan bisa menghidupkan kembali narasi-narasi yang terkandung dalam karya seni tersebut.
Jakarta bukan hanya tentang gedung dan lalu lintas. Ia adalah kota yang dibentuk oleh ingatan, perjuangan, dan identitas. Merawat patung-patung sejarah bukan sekadar urusan estetika atau ruang publik, melainkan bagian dari tanggung jawab kolektif menjaga memori bangsa.