Koropak.co.id – Paku Alam VIII, lahir pada 10 April 1910 di Pakualaman dengan nama Bendara Raden Mas Harya Sularso Kunto Suratno, merupakan Adipati Paku Alam ke-8.
Meski berasal dari keluarga bangsawan, pendidikan Paku Alam VIII mencakup ELS, MULO, dan AMS di Yogyakarta.
Jiwa perlawanannya terwujud dalam pendidikan hukum di Batavia dan profesi agraria, memilih dekat dengan rakyat kecil.
Sejak 1937, ia diangkat sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Prabu Suryodilogo, dan sejak 1942, namanya resmi menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII.
Pengabdian luar biasanya menjadikannya pahlawan nasional karena integrasinya antara Kesultanan Ngayogyakarta, Kadipaten Pakualaman Hadiningrat, dan NKRI.
Pada hari kemerdekaan, Paku Alam VIII mengirimkan telegram ke Soekarno-Hatta menyatakan dukungannya terhadap RI.
Baca: Tari Soreng dan Kisah Adipati Aryo Penangsang
Bersama Sultan Hamengkubuwono IX, mereka menolak tawaran menjadi bagian Belanda dan memilih bergabung dengan Indonesia. Amanat 5 September 1945 dan Amanat 30 Oktober 1945 menegaskan status DIY di bawah RI.
Sebagai Gubernur DIY, Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII membuktikan pengabdian mereka saat masa agresi militer.
Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan sementara, dan Pura Paku Alam berfungsi sebagai kantor pemerintahan. Selama periode tersebut, mereka memberikan akomodasi gratis, gaji negarawan, dan layanan kesehatan.
Paku Alam VIII diangkat sebagai Gubernur Militer dan mengambil peran strategis dalam memimpin.
Wafat pada 1 September 1998, pengangkatannya sebagai pahlawan nasional menegaskan kontribusinya yang luar biasa dan menambah daftar tokoh terkemuka dari Yogyakarta.
							










