KOROPAK.CO.ID – Di awal abad ke-20, di sebuah sekolah di Belanda, seorang guru bernama Nico Broekhuysen menciptakan permainan baru yang menggabungkan strategi, kerja sama, dan kesetaraan gender. Permainan itu dinamakan Korfball, bola keranjang versi Belanda dimainkan oleh delapan orang dalam satu tim: empat pria dan empat wanita.
Konsepnya sederhana, namun membawa semangat baru dalam dunia olahraga: harmoni dan kebersamaan antara laki-laki dan perempuan di satu lapangan yang sama.
Korfball berkembang cepat di Belanda, lalu melintasi lautan menuju tanah jajahan di Asia, termasuk Hindia Belanda (Indonesia). Di antara hiruk pikuk sepak bola dan atletik, olahraga ini menemukan tempatnya sendiri di sekolah-sekolah dan perkumpulan olahraga kota besar seperti Batavia, Bandung, dan Semarang.
Meski pamornya tak seterang sepak bola, Korfball tetap hidup dan bertahan bahkan setelah masa penjajahan berakhir. Di ajang Pekan Olahraga Nasional (PON), ia sempat menjadi salah satu cabang resmi, menandakan betapa dalam akar sejarahnya di negeri ini.
Namun, kisah Korfball di Indonesia tidak hanya tentang permainan. Ia juga tentang orang-orang yang menjaganya tetap hidup seperti Henk Tjen A Kwoei, seorang wasit legendaris di era 1950-an.
Lahir di Semarang, Henk tumbuh besar di kota pesisir yang ramai perdagangan dan percampuran budaya. Dari bangku sekolah di Hoogere Burgerschool, ia telah mengenal dan mencintai Korfball. Pemahaman mendalamnya terhadap aturan permainan membuatnya dipercaya menjadi wasit, bahkan sebelum Indonesia merdeka.
Baca: Mengenang Henky Timisela, Sang Legenda Sepak Bola Indonesia
Yang menarik, darah Tionghoa dan Suriname mengalir dalam tubuhnya, perpaduan unik yang mencerminkan keberagaman Hindia Belanda saat itu.
Dalam arsip majalah Minggu Pagi edisi 26 April 1953, jurnalis S.T.N menulis: “Ayah Henk Tjen A Kwoei berketurunan Tionghoa. Hanya ayahnya, ibunya bukan! Ia mempunyai darah asal asli Suriname, penduduk daerah jajahan Belanda sampai detik ini belum mendapatkan kemerdekaannya seperti tanah air kita sekarang.”
Dari Semarang, Henk merantau ke Jakarta dan menjadi wasit andalan Persatuan Bola Keranjang Indonesia Djakarta (PBKID). Ia dipercaya memimpin laga-laga penting, termasuk dalam PON II.
Di lapangan, sosoknya dikenal tegas dan berani. Tak segan menegur pemain yang bermain curang, bahkan menghadapi penonton yang membuat keributan.
Pecinta Korfball kala itu sering berkata dengan nada kagum, “Untung Tjen yang jadi wasit, kalau bukan, wah bisa berabe!” Dalam catatan sejarah olahraga Indonesia, nama Henk Tjen A Kwoei mungkin tidak setenar para atlet nasional.
Namun, lewat ketegasan dan dedikasinya, ia menjadi bagian penting dari babak awal olahraga modern di Indonesia, sebuah era ketika sportivitas, disiplin, dan semangat kebersamaan menjadi wujud nyata dari perjuangan bangsa muda yang baru merdeka.