Actadiurna

Jejak Panjang Wilmar Group hingga Tersandung Kasus CPO Rp11,8 Triliun

×

Jejak Panjang Wilmar Group hingga Tersandung Kasus CPO Rp11,8 Triliun

Sebarkan artikel ini
Jejak Panjang Wilmar Group hingga Tersandung Kasus CPO Rp11,8 Triliun
Doc. Foto: Riau Pos

KOROPAK.CO.ID – JAKARTA – Nama Wilmar Group kembali menjadi sorotan setelah Kejaksaan Agung menetapkan lima anak usahanya sebagai terdakwa dalam perkara dugaan korupsi ekspor crude palm oil (CPO).

Tak tanggung-tanggung, negara disebut mengalami kerugian hingga Rp11,8 triliun, nilai yang disebut sebagai salah satu penyitaan terbesar dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia.

Direktur Penuntutan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Sutikno, menjelaskan bahwa angka tersebut merupakan hasil kalkulasi kerugian negara yang mencakup kerugian keuangan, illegal gain, dan kerugian terhadap perekonomian nasional. “Perhitungan ini berasal dari audit BPKP dan analisis para ahli dari Universitas Gadjah Mada (UGM),” katanya.

Adapun lima perusahaan dalam grup yang kini menyandang status terdakwa adalah PT Multimas Nabati Asahan, PT Multinabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.

Wilmar Group bukan nama baru dalam industri minyak sawit dunia. Perusahaan ini didirikan pada 1991 oleh dua sosok penting: Kuok Khoon Hong, taipan asal Singapura, dan Martua Sitorus, pengusaha asal Indonesia. Awalnya, mereka hanya memiliki lima karyawan dan modal sebesar 100.000 dolar Singapura.

Langkah pertama Wilmar di Indonesia dimulai lewat PT Agra Masang Perkasa, yang mengelola perkebunan kelapa sawit seluas 7.000 hektare di Sumatera Barat.

Dalam satu dekade, mereka memperluas operasi ke berbagai wilayah seperti Sumatera Utara, Riau, dan Kalimantan. Strategi agresif akuisisi kilang dan pabrik menjadikan Wilmar sebagai pemain dominan di sektor hulu dan hilir sawit.

Baca: Mengenal Para Raja Nikel dan Jejak Bisnisnya di Indonesia

Pada awal 2000-an, Wilmar mulai meluncurkan produk minyak goreng bermerek sendiri seperti Sania, Fortune, dan Sovia.

Akuisisi atas PT Cahaya Kalbar Tbk pada 2005 memperluas portofolio Wilmar ke segmen minyak dan lemak industri makanan. Setahun kemudian, Wilmar resmi berubah nama menjadi Wilmar International Limited dan terdaftar di Bursa Singapura.

Hingga akhir 2020, Wilmar tercatat memiliki lahan tanam seluas 232.053 hektar, dengan 65 persen di Indonesia. Perkebunan tersebar di Sumatera, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, hingga Afrika dan Malaysia. Mereka juga bekerja sama dengan ribuan petani kecil dan plasma.

Selain itu, Wilmar tercatat sebagai produsen minyak goreng kemasan terbesar di dunia, dan memiliki lini bisnis lain seperti beras, tepung, mi instan, bumbu masak, bahkan pupuk dengan kapasitas produksi tahunan mencapai 1,2 juta metrik ton.

Namun reputasi itu kini ternoda. Dalam kasus ekspor CPO yang kini ditangani Kejagung, total dana yang telah dikembalikan Wilmar kepada negara mencapai Rp11.880.351.802.619.

Penyitaan ini tidak hanya memecahkan rekor nilai tertinggi, tetapi juga menarik perhatian publik dengan visualisasi “gunungan uang” senilai Rp2 triliun tunai yang ditampilkan dalam konferensi pers di Gedung Bundar Kejagung, Jakarta.

Pemeriksaan masih berlangsung, dengan dua perusahaan lain disebut masih dalam proses. Sementara itu, publik kini menanti: apakah raksasa agribisnis ini akan bangkit kembali, atau makin terseret dalam jerat hukum yang membelitnya?

error: Content is protected !!