Actadiurna

Pemisahan Pemilu 2029 Tuai Kontroversi di Parlemen

×

Pemisahan Pemilu 2029 Tuai Kontroversi di Parlemen

Sebarkan artikel ini
Pemisahan Pemilu 2029 Tuai Kontroversi di Parlemen
Doc. Foto: tempo.co

KOROPAK.CO.ID – JAKARTA – Sejarah ketatanegaraan Indonesia kembali mencatat perdebatan penting seputar sistem pemilihan umum, usai Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024. Keputusan yang memisahkan pemilu nasional dan daerah mulai 2029 itu langsung menuai kritik tajam, salah satunya dari Partai Nasdem.

Dalam pernyataan sikap resmi yang dibacakan anggota Majelis Tinggi DPP Partai Nasdem, Lestari Moerdijat, partai ini menyebut MK tidak konsisten dalam penegakan prinsip kepastian hukum.

Mereka mengingatkan bahwa putusan sebelumnya, Nomor 55/PUU-XVII/2019, justru membuka enam opsi model keserentakan pemilu, yang memberikan ruang fleksibilitas kepada pembentuk undang-undang.

“MK telah melanggar prinsip hukum yang tidak mudah berubah. Putusan hakim seharusnya konsisten,” kata Lestari, seraya menambahkan bahwa inkonsistensi tersebut dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum.

Lebih jauh, Partai Nasdem menilai putusan ini bahkan melanggar konstitusi. Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 secara eksplisit menyebutkan bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali.

Menurut Nasdem, pemisahan pemilu nasional dan daerah berpotensi menggeser masa jabatan tanpa dasar hukum yang kuat. “Putusan ini tidak punya kekuatan mengikat dan merupakan putusan yang inkonstitusional,” tegas Lestari.

Baca: Pemilu Serentak Tak Lagi Berlaku Mulai 2029

Nada serupa disampaikan anggota Komisi II DPR, Muhammad Khozin. Ia menyoroti paradoks antara putusan baru MK dengan putusan 2019 lalu. Dalam putusan tersebut, MK memberikan enam alternatif pola keserentakan pemilu, termasuk opsi keserentakan penuh dan bertahap.

Putusan terbaru dinilai malah membatasi pilihan-pilihan itu dan melampaui kewenangan yang dimiliki lembaga yudisial. “Ini urusan domain pembentuk undang-undang, bukan MK. MK tidak bisa ‘lompat pagar’ ke ranah legislatif,” ujar Khozin.

Ia menambahkan, belum berubahnya UU Pemilu seharusnya tidak dijadikan alasan bagi MK untuk mengambil alih peran yang bukan kewenangannya.

Diketahui, putusan MK tersebut menegaskan bahwa pemilu nasional untuk memilih DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden akan dipisah pelaksanaannya dari pemilu daerah. Pemilihan anggota DPRD serta kepala daerah akan disatukan dengan Pilkada.

Keputusan ini mengubah arsitektur pemilu serentak yang sebelumnya diterapkan, terutama sejak 2019, ketika Indonesia menjalankan pesta demokrasi terbesar secara bersamaan. Kala itu, bangsa ini mencatat sejarah sebagai negara pertama yang melaksanakan lima jenis pemilu di satu hari yang sama.

Kini, dengan putusan 135/PUU-XXII/2024, babak baru sejarah politik elektoral Indonesia akan dimulai pada 2029. Namun demikian, gelombang kritik yang muncul menandakan bahwa perdebatan atas arah konsolidasi demokrasi belum sepenuhnya usai.

error: Content is protected !!