KOROPAK.CO.ID – JAKARTA – Tiga hari setelah vonis 4,5 tahun penjara dijatuhkan kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong, sorotan publik tak kunjung reda. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat dalam kasus dugaan korupsi importasi gula itu dinilai menyimpan banyak kejanggalan.
Koalisi Masyarakat Sipil menyebut vonis terhadap pria yang akrab disapa Tom Lembong itu sebagai preseden berbahaya. Dalam forum diskusi yang digelar di Universitas Indonesia, Senin, 21 Juli 2025, sejumlah pakar hukum mempertanyakan logika hukum yang digunakan majelis hakim.
Salah satu yang bersuara keras ialah pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari. Ia menilai pertimbangan hakim yang menyebut pendekatan ekonomi kapitalis sebagai hal yang memberatkan merupakan bentuk penyimpangan hukum. “Kalau kapitalisme bisa jadi pidana, penjara kita penuh,” kata Feri.
Ia menyindir bahwa sebagian besar pejabat dan politisi justru menganut prinsip ekonomi serupa. Bagi Feri, vonis terhadap Tom Lembong memperlihatkan tidak adanya kesungguhan dalam menegakkan keadilan. “Tidak ditemukan mens rea (niat jahat), lalu di mana letak tindak pidananya?” ujarnya.
Pihaknya bahkan menyebut proses persidangan ini sebagai bentuk political trial, peradilan politik untuk melemahkan oposisi. Nama Tom Lembong disebut-sebut masuk ke dalam kelompok elite yang perlahan menjauh dari lingkar kekuasaan.
Tak hanya itu, perbandingan dengan kasus-kasus lain ikut disorot. Feri mempertanyakan mengapa pelaku importasi lain yang juga merugikan negara tidak ikut diproses hukum. “Ada yang nyata merugikan negara, tapi tak dipidana. Mengapa hanya Tom?” katanya.
Baca: Jadi Tahanan Kota, Ibrahim Arief Tersangka Korupsi Laptop Dipasangi Gelang Deteksi
Senada dengan itu, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Albert Aries, menyebut pertimbangan hakim keliru. Ia menyatakan bahwa kelalaian dalam kebijakan bukanlah alasan hukum yang cukup untuk menyeret Tom ke balik jeruji.
“Delik Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tipikor membutuhkan unsur kesengajaan. Jika hanya lalai, maka tidak cukup,” kata Albert.
Albert menilai kebijakan impor gula untuk operasi pasar oleh Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) dan koperasi TNI AD bukanlah tindakan kriminal, melainkan kebijakan ekonomi. Ia mendorong agar pertimbangan majelis hakim ini dibatalkan di tingkat banding.
Sementara itu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membantah ada tekanan politik dalam putusan ini. Juru bicaranya, Andi Saputra, mengatakan bahwa majelis hakim bersikap independen dan hanya mempertimbangkan fakta persidangan. “Tidak ada intervensi. Semua murni penilaian hukum,” katanya.
Namun gelombang kritik sudah telanjur meluas. Di luar ruang sidang, perdebatan tentang keadilan dan motif politik terus menggelinding. Untuk sebagian kalangan, vonis terhadap Tom Lembong bukan lagi sekadar perkara hukum melainkan cermin tentang wajah hukum dan kekuasaan hari ini.