Actadiurna

SMAN 1 Tasikmalaya Diterpa Isu Pungutan, Sikap Wakasek Dinilai Langgar Etika Guru

×

SMAN 1 Tasikmalaya Diterpa Isu Pungutan, Sikap Wakasek Dinilai Langgar Etika Guru

Sebarkan artikel ini

Koropak.co.id – Tasikmalaya – Polemik dugaan pungutan di SMAN 1 Kota Tasikmalaya menyeret ingatan lama tentang tradisi panjang “sumbangan” yang samar batasnya dengan “pungutan.” Peristiwanya bermula pada 16 Juli 2025, ketika seorang warga bernama Teten mendampingi saudaranya, orang tua siswa, yang hendak memindahkan anaknya dari SMAN 1 Cipatujah ke SMAN 1 Kota Tasikmalaya.

Dalam pertemuan itu, menurut pengakuan Teten, pihak sekolah menyebut angka Rp10 juta sebagai “infaq” agar perpindahan siswa diproses. Orang tua kemudian menawar Rp8 juta, bahkan menyiapkan pembayaran awal Rp3 juta. Namun, alih-alih diterima, tawaran itu mentok di alasan teknis: perbedaan kurikulum antara Kabupaten Tasikmalaya yang masih memakai Kurikulum 2013 dan Kota Tasikmalaya yang sudah menerapkan Kurikulum Merdeka.

Keterangan berbeda muncul dari pihak sekolah. Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMAN 1 Kota Tasikmalaya, Drs. Akuh, S.Pd., M.Pd., membantah adanya pungutan. Menurutnya, yang disebut hanyalah contoh, bukan kewajiban.

“Awalnya orang tua mendesak saya menyebutkan nominal sumbangan. Saya bilang sukarela. Karena mereka terus mendesak, saya sebut dengan tertawa bahwa ada yang pernah memberikan Rp10 juta. Tapi itu bukan ketentuan, hanya contoh,” kata Akuh, Kamis (28/08/2025).

Ia menambahkan, proses administrasi sebenarnya hampir rampung. Bahkan, surat penerimaan sudah disiapkan. Kendala justru muncul saat ditemukan ketidaksesuaian kurikulum. “Kami sarankan pindah ke SMAN 2 Tasikmalaya yang siap menerima peralihan kurikulum,” ujarnya.

Namun, cerita tak berhenti di situ. Teten menduga praktik semacam ini bukan kasus tunggal. “Kami jadi menduga praktik ini seolah sering dilakukan oleh oknum sekolah,” katanya.

Di titik inilah peristiwa kecil di ruang sekolah menjelma persoalan besar: soal etika birokrasi dan relasi kuasa antara lembaga pendidikan dan masyarakat. Teten menilai, menyebut angka sumbangan, meski dengan embel-embel “contoh” atau “sukarela,” adalah pelanggaran etika. Apalagi diucapkan oleh seorang aparatur sipil negara sekaligus pendidik.

“Kami berharap Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat melalui pengawas yang bertugas bisa melakukan pembinaan kepada oknum guru tersebut,” ujarnya.

Kasus SMAN 1 Tasikmalaya ini menyingkap wajah lama praktik “sumbangan” yang terus berulang di sekolah negeri. tak pernah jelas apakah ia benar-benar sukarela, atau sudah berubah jadi pungutan dengan nama baru. Dalam narasi besar pendidikan Indonesia, ia memperlihatkan bahwa persoalan etika dan integritas masih menjadi PR panjang, bahkan di ruang yang mestinya jadi laboratorium kejujuran, yaitu sekolah.

 

 

 

error: Content is protected !!