Actadiurna

Polemik Sejarah Perkosaan Massal Mei 1998 Kembali Mengemuka

×

Polemik Sejarah Perkosaan Massal Mei 1998 Kembali Mengemuka

Sebarkan artikel ini
Polemik Sejarah Perkosaan Massal Mei 1998 Kembali Mengemuka
Doc. Foto: infoaceh.net

KOROPAK.CO.ID – JAKARTA – 26 tahun sejak ambruknya rezim Orde Baru, luka sejarah Indonesia belum sepenuhnya sembuh. Salah satu bab tergelap dari peristiwa Reformasi 1998, adalah pemerkosaan massal terhadap perempuan, mayoritas dari etnis Tionghoa yang kini kembali menjadi perdebatan panas dalam wacana publik.

Isu ini mencuat setelah Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam sebuah wawancara media menyampaikan tidak ada bukti kekerasan seksual massal selama kerusuhan 1998.

Ucapan tersebut memantik gelombang kritik, termasuk dari kalangan sejarawan dan aktivis HAM, yang menilai pernyataan itu sebagai bentuk pengingkaran terhadap sejarah kekerasan kemanusiaan.

Pada rapat dengan Komisi X DPR RI, Rabu (2/7), Fadli mencoba meluruskan ucapannya. Ia mengakui terjadinya kekerasan seksual, tetapi mempertanyakan penggunaan diksi “massal”.

Klarifikasi ini tidak meredam kontroversi. Fraksi PDIP, melalui anggotanya Bonnie Triyana yang juga seorang sejarawan menyatakan sikap tegas, proyek penulisan ulang sejarah yang digagas Fadli Zon harus dihentikan.

Menurut Bonnie, negara tengah berada di titik rawan melakukan interpretative denial, sebuah bentuk penyangkalan pelanggaran HAM dengan cara mengaburkan makna dan skala tragedi. “Saya khawatir ini bukan hanya penulisan sejarah, tapi proses delegitimasi ingatan kolektif publik,” ujarnya di ruang rapat parlemen.

Tak hanya dari parlemen, reaksi keras juga datang dari masyarakat sipil.

Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengungkap dua faktor utama mengapa elite negara enggan mengakui kekerasan seksual massal 1998, yakni rasa takut akan implikasi politik terhadap tokoh-tokoh yang kini berada di lingkar kekuasaan, dan residu rasialisme sistemik terhadap etnis Tionghoa.

“Retorika anti-asing dan anti-Tionghoa masih digunakan untuk menutupi kegagalan negara memenuhi keadilan sosial,” kata Usman.

Baca: Pernyataan Fadli Zon Soal Pemerkosaan Mei 1998 Tuai Protes Nasional

Senada, Haris Azhar, aktivis HAM sekaligus pendiri Lokataru Foundation, menyebut bahwa pernyataan Fadli Zon melukai memori korban yang telah menyimpan luka hampir tiga dekade. “Ini bukan sekadar soal semantik. Ingatan korban sudah menjadi maqam sejarah yang tak boleh diutak-atik,” tegasnya.

Ia juga memperingatkan, upaya mereduksi peristiwa ini bisa menjadi bumerang politik dan moral. “Jika tidak mampu memberi keadilan, lebih baik diam, jangan membelokkan sejarah,” ujarnya.

Sementara itu, sejarawan Universitas Nasional, Andi Achdian, menengarai adanya upaya whitewashing atau “pemutihan sejarah” dalam proyek penulisan ulang ini.

Ia meragukan independensi proses yang diklaim melibatkan 130 sejarawan dari berbagai kampus. Menurutnya, hasil akhir bisa menjadi legitimasi baru atas penyangkalan negara terhadap pelanggaran HAM.

“Jika dari awal narasi pemerintah sudah mengaburkan tragedi seperti Mei 1998, sulit berharap pada objektivitas sejarah yang ditulis nanti,” kata Andi.

Di tengah polemik yang membesar, Fadli Zon tetap bersikukuh melanjutkan proyek penulisan ulang sejarah nasional.

Saat berada di Maros, Sulawesi Selatan, Kamis (3/7), ia menyatakan penulisan sejarah nasional akan terus berjalan dan akan diuji publik dalam waktu dekat. “Selama 26 tahun terakhir kita belum pernah menuliskan sejarah nasional secara menyeluruh. Ini penting,” katanya.

Namun bagi sebagian kalangan, justru dalam proyek itulah pertaruhan besar sejarah terjadi, apakah akan menjadi jalan menuju kebenaran, atau lembar baru penyangkalan negara terhadap luka-luka lama yang belum terobati.

error: Content is protected !!