Seni Budaya

Mandi Safar, Tradisi Sucikan Diri dan Penolak Bala Masyarakat Melayu

×

Mandi Safar, Tradisi Sucikan Diri dan Penolak Bala Masyarakat Melayu

Sebarkan artikel ini

 

Koropak.co.id, Jakarta – Bulan Safar merupakan bulan kedua dalam kalender Hijriah. Selain itu, bagi sebagian masyarakat, bulan Safar merupakan bulan sial. Oleh karena itulah, saat memasuki bulan ini, biasanya masyarakat akan membersihkan diri dengan ritual yang disebut “Mandi Safar”. 

Mandi Safar merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Melayu dan sudah ada sejak zaman dahulu. Tradisi ini merupakan kegiatan untuk membersihkan diri dan menyucikan hati sebagai penolak bala. Pada umumnya, tradisi ini dilaksanakan oleh sejumlah masyarakat pada hari Rabu terakhir di bulan Safar.

Biasanya, tradisi Mandi Safar ini dilakukan secara ramai-ramai oleh masyarakat untuk menyucikan diri dan membersihkan hati. Mandi Safar juga merupakan tradisi tahunan yang dilakukan oleh masyarakat pada saat memasuki bulan Safar. Selain sebagai sarana pembersihan diri, Mandi Safar juga menjadi ajang silaturahmi bagi masyarakat Melayu.

Masyarakat sendiri percaya bahwa tradisi Mandi Safar bisa menjadi penolak bala untuk menghilangkan segala macam hal buruk, baik dari manusia dan juga alam yang dihanyutkan oleh air sungai yang mengalir. Lalu, bagaimana sejarah awal tradisi Mandi Safar ini?

Diketahui, upacara Mandi Safar sudah ada sejak 1950-an yang mulai dibawa oleh masyarakat Rupat Utara dari pesisir pantai Malaysia. Namun, tradisi itu sendiri sudah hadir di pesisir pantai Malaysia sejak 1920-an. Jika melihat sejarah awalnya, Mandi Safar dilakukan di rumah masing-masing. 

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, masyarakat pun menjadikannya sebagai suatu upacara sakral yang dilakukan secara beramai-ramai. Sama halnya seperti tradisi lainnya yang menyebar di masyarakat, tradisi Mandi Safar juga memiliki beberapa perbedaan dalam pelaksanaannya. 

Ada yang percaya bahwa ritual ini mampu mencegah, bahkan menghilangkan segala macam hal buruk, wabah penyakit menular, hingga bencana atau musibah yang akan atau telah datang, khususnya di bulan Safar. 

Kepercayaan itu berkembang di kalangan masyarakat luas dikarenakan pada bulan tersebut, Alla SWT akan menurunkan 12 ribu macam ujian atau cobaan kepada umat manusia tepatnya di hari Rabu minggu terakhir bulan Safar. Itulah alasannya mengapa ritual tersebut biasanya dilaksanakan pada hari Rabu terakhir bulan Safar.

Di sisi lain, ada juga yang menganggapnya sebagai tindakan bid’ah atau tindakan yang tidak boleh dilakukan, karena bertentangan dengan ajaran agama Islam. Di mana ritual Mandi Safar itu dinilai takhayul dan khurafat, serta mengandung unsur syirik.

Baca: Makna Tebu dan Pohon Pisang dalam Tradisi Nyorong Suku Samawa

Namun ada juga pendapat lainnya yang menyebutkan bahwa ritual ini dilaksanakan hanya untuk sekadar tradisi leluhur Islam yang perlu dijaga kelestariannya dengan tetap mengedepankan modifikasi Islami dan membuang unsur mistisme agar tidak bertentangan dengan ajaran Allah SWT.

Untuk proses persiapan Mandi Safar ini akan dimulai dari pagi hari, tepatnya setelah salat subuh di hari Rabu terakhir bulan Safar. Biasanya masyarakat akan terlebih dahulu menyiapkan peralatan berupa sehelai daun atau selembar kertas persegi (rajah) yang diserahkan pada tetua kampung yang dianggap memiliki ilmu agama lebih mumpuni dalam memimpin ritual tersebut.

Nantinya rajah yang sudah diserahkan kepada tetua kampung itu akan ditulisi ayat-ayat dengan menggunakan benda-benda keras seperti lidi yang dibuat menyerupai pensil dengan ujungnya yang dilancipkan, atau juga dengan tinta yang mudah luncur.

Setelah persiapan sudah selesai, proses selanjutnya adalah pelaksanaan ritual Mandi Safar yang dimulai dengan kegiatan zikir bersama memohon ampun dan ridha dari Allah SWT. Kemudian setelah itu dilanjutkan dengan arak-arakan yang diiringi kompang beserta delapan pasang anak yang merupakan perwakilan dari masing-masing desa.

Seperti pelaksanaan ritual Mandi Safar di Rupat Utara. Masyarakat akan melakukan arak-arakan menuju sumur tua yang letaknya tidak jauh dari Pantai Tanjung Lapin. Sesampainya di tempat ritual, maka satu per satu tetua kampung, pemuka agama, serta pemerintah setempat pun akan menepuk tepung tawari anak-anak tersebut. 

Setelahnya, air wafa’ akan disiramkan ke tubuh mereka dengan menggunakan centong dari tempurung kelapa. Jika ritual sudah selesai dilaksanakan, barulah setelah itu masyarakat yang hadir dalam kegiatan, diizinkan untuk mengambil air wafa’ yang digunakan untuk membasuh muka dan rambut, namun ada juga yang sengaja membawa botol air kosong untuk nantinya diisikan air tersebut.

Bahkan, tak jarang juga ada beberapa masyarakat yang kemudian menjadikan rajah yang sudah dituliskan dan direndam air wafa’ sebagai pajangan di depan pintu rumahnya dengan tujuan agar segala hal buruk dan penyakit tidak bisa masuk ke dalam rumah.

Silakan tonton berbagai video menarik di sini:

error: Content is protected !!