Seni Budaya

Kisah Penduduk Bermata Biru Seperti Orang Eropa dari Pulau Siompu

×

Kisah Penduduk Bermata Biru Seperti Orang Eropa dari Pulau Siompu

Sebarkan artikel ini

Koropak.co.id, Sulawesi Tenggara – Seperti yang diketahui bahwa salah satu ciri khas dari bangsa Asia, khususnya masyarakat Indonesia adalah memiliki warna iris mata yang coklat hingga kehitaman.

Namun, hal tersebut ternyata tidak berlaku bagi penduduk di Desa Kaimbulawa, Kecamatan Siompu Timur yang berada di Pulau Siompu, Sulawesi Tenggara. Pasalnya, di desa yang tergolong unik ini, menjadi tempat tinggal beberapa warganya yang memiliki bola mata berwarna biru, sepasang bola mata yang menyerupai mata bangsa Kaukasia dari Eropa.

Tentunya hal tersebut bukan merupakan kelainan genetik ataupun hasil ilmu sihir. Bola mata berwarna biru hingga ada sebagian yang bertubuh tinggi dan berambut pirang itu ternyata merupakan hasil persilangan antar budaya di masa lalu.

Lantas, seperti apa kisah sebenarnya dari penduduk berbola mata biru yang menghuni Pulau Siompu itu?

Diketahui, Pulau Siompu sendiri adalah pulau yang terletak di barat daya Kabupaten Buton Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Pulau ini terbagi menjadi dua kecamatan, yakni Siompu Timur dan Siompu Barat. Pulau Siompu ini bisa dijangkau melalui perjalanan laut dari Kendari, Ibu Kota Sulawesi Tenggara dengan tujuan ke Kota Baubau, Pulau Buton. 

Biasanya dengan menumpang kapal Feri, waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke Pulau Siompu yakni sekitar enam jam perjalanan. Setelah itu kalian pun akan tiba di Kaimbulawa, sebuah desa di Kecamatan Siompu Timur. 

Disana, kalian akan mendapati sekelompok warga dengan ciri tubuhnya yang unik yakni berbola mata biru dan berambut pirang layaknya bangsa Kaukasia atau orang Eropa.

Berdasarkan sejarahnya, fenomena ini sendiri pertama kali disingkap oleh seorang peneliti dari lembaga Summer Institute Linguistic (SIL), La Ode Yusrie yang pada 2016 lalu sedang melakukan riset mengenai dialek lokal unik di Siompu Timur.

Secara historis, pada saat bangsa Eropa berlomba dalam menguasai rempah-rempah dunia, para pelaut Portugis pun menjadikan Pulau Siompu sebagai persinggahannya sebelum menuju ke Maluku. Selama berlabuh inilah, para pelaut Portugis tersebut menjalin hubungan baik dengan warga lokal dan pihak kerajaan.

Baca: Alasan Suku Palembang Sering Disebut Mirip Orang Tionghoa

Bahkan, beberapa pria Portugis juga kala itu diizinkan untuk mempersunting gadis Siompu. Cerita ini sendiri diketahui termuat dalam naskah kuno peninggalan Kesultanan Buton Kanturuna Mohelana yang bermakna Pelitanya Orang Berlayar.

Dikisahkan pada abad ke-16, ada seorang pimpinan kapal dari Portugis yang menikah dengan seorang gadis bangsawan dari Pulau Siompu, bernama Waindawula. Ia merupakan anak dari La Laja, bangsawan Wolio yang juga berkerabat dekat dengan seorang Raja Liya, La Ode Ntaru Lakina Liya yang berkuasa pada 1928-an.

Kemudian dari pernikahan putri Siompu dan pria Portugis itulah lahir beberapa anak, termasuk La Ode Raindabula yang berpostur tinggi, berkulit putih, dan bermata biru. Raindabula ini jugalah yang merupakan generasi pertama mata biru di Pulau Siompu.

Selanjutnya, La Ode Raindabula pun mempersunting perempuan bangsawan hingga memiliki lima orang anak yang salah satunya adalah La Ode Pasere yang merupakan kakek buyut La Dala dari pihak ibu. Sementara itu, La Dala sendiri sempat menjadi Kepala Sekolah Dasar 2 Kaimbulawa, Siompu. 

Tak hanya itu saja, mata biru La Dala juga ikut menurun kepada Ariska Dala yang merupakan keturunan keenam sekaligus satu-satunya dari enam anak La Dala dengan mata biru.

Di sisi lain, ketika Pemerintahan Belanda berhasil menguasai Buton, mereka pun melancarkan propaganda dan fitnah (devide et impera) terhadap keturunan Portugis, yang mereka sebut sebagai pengkhianat. Hal itu dilakukan sesuai dengan kepentingan Belanda yang menganggap bangsa Portugis sebagai saingan dalam berebut pengaruh di Kesultanan Buton.

Propaganda itu jugalah yang pada akhirnya berdampak kepada generasi hasil perkawinan Buton-Portugis. Bahkan mereka juga memilih untuk menyingkir ke beberapa wilayah, seperti Liya di Kabupaten Wakatobi, Ambon, hingga Malaysia.

Selain itu, stigma penjajah Belanda juga terus membekas pada komunitas bermata biru di Pulau Siompu selama berpuluh tahun, hingga mendesak mereka untuk membangun tempat tinggal di wilayah perbukitan Kaimbulawa. Disana, mereka juga semakin menutup diri dan membatasi komunikasinya dengan orang asing dan cenderung menghindari keramaian.

Meskipun mereka secara perlahan mulai membuka diri, namun penduduk bermata biru yang tersisa saat ini tak lebih dari 10 orang. Kini, La Dala dan sejumlah warga Pulau Siompu bermata biru tersebut mulai sering diundang dalam acara-acara di lingkungan Kesultanan Buton.

Silakan tonton berbagai video menarik di sini:

error: Content is protected !!