Koropak.co.id – Kabupaten Cianjur, merupakan salah satu wilayah di Jawa Barat yang memiliki segudang khazanah kesenian dan tradisi. Kesenian-kesenian tradisional ini merupakan hasil kebudayaan yang sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.
Di masa sekarang, kesenian tradisional dianggap sebagai budaya yang kuno dan ketinggalan zaman. Padahal justru kesenian tradisional yang merupakan identitas daerah setempat ini adalah kesenian yang memiliki daya tarik dan keunikannya tersendiri jika dipadukan dengan keadaan masa kini tanpa mengubah kesenian tersebut.
Salah satu kesenian yang sudah sangat langka adalah tembang Cianjuran yang menjadi ciri khas dari kabupaten penghasil beras pandan wangi tersebut. Meskipun begitu, upaya pelestarian dan pementasan tembang Cianjur juga sampai dengan saat ini memang masih sering dilakukan terutama dalam acara-acara sakral atau peringatan di Kabupaten Cianjur.
Sejumlah budayawan hingga Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur juga sudah melakukan berbagai upaya agar kesenian ini tetap ada dan tidak tergerus oleh budaya luar yang semakin masif masuk khususnya ke Kabupaten Cianjur.
Sebenarnya, tembang cianjuran ini termasuk ke dalam filosofi Cianjur yaitu, Mamaos yang berisikan syair- syair tentang kehidupan sehari-hari yang bertujuan untuk merekatkan persaudaraan.
Dilansir dari berbagai sumber, tembang cianjuran ini diketahui memiliki sejarah yang relatif cukup panjang. Berdasarkan sejarahnya, tembang ini mulai hadir sejak era pemerintahan Bupati Kabupaten Cianjur R.A.A Kusumaningrat yang memerintah antara tahun 1834 hingga 1864.
Pada awalnya, kesenian ini hanya dilakukan oleh para pria namun lambat laun tembang ini baru bisa dimainkan oleh para kaum wanita.
Baca : Ini Tentang Tari Mojang, Implementasi Masyarakat Sunda Penuh Warna
Biasanya R.A.A Kusumaningrat sendiri membuat lagu-lagu atau tembang di sebuah bangunan bernama Pancaniti. Kesenian yang juga disebut sebagai Mamaos ini, dimainkan dengan diiringi oleh instrumen musik tradisional Sunda. Mamaos ini juga merupakan percampuran dari berbagai kesenian seperti tembang macapat, mamaca, pantun, pupuh dan lain sebagainya.
Sementara itu, untuk lagu-lagu yang dimainkan dalam kesenian ini sendiri berasal dari teks Padjadjaran yang berkaitan dengan aturan- aturan dalam pupuh Sunda dan cerita Mundinglaya Dikusumah.
Kesenian Cianjuran ini juga memiliki sejumlah penembang legendaris dan terkenal masyur dalam sejarah diantaranya, Rd. Ana Ruhanah, Rd Siti Sarah, Nyi Mas Saodah dan lainnya.
Selain itu, beberapa judul Tembang Sunda yang populer berikut dengan pengarangnya antara lain Laras pelog, bubuka, genjlong ciptaan A. Achmad, Laras sorog, kulu-kulu barat tarik, kulu-kulu barat kendor nyawang asih ciptaan M.Engkos.
Seiring berjalannya waktu, Mamaos pun berganti nama menjadi Tembang Cianjuran. Pada tahun 1962, penetapan ini dilakukan pada kegiatan Musyawarah Tembang Sunda se- Pasundan yang digelar di Bandung.
Akan tetapi, lambat laun kesenian ini mulai tergerus zaman dikarenakan dukungan dari Pemerintah Kabupaten Cianjur sendiri juga sudah sangat jarang dalam mengadakan kegiatan yang memasukkan tembang Cianjuran pada segala kegiatannya.
Sehingga, sejumlah pegiat seni di Cianjur pun khawatir jika hal ini terus berlanjut dan berlarut-larut, maka tembang Cianjuran pun akan punah seperti kesenian-kesenian lainnya yang sudah hilang karena sudah tidak ada lagi yang mau melanjutkannya.
Tembang Cianjuran ini merupakan sebuah kesenian yang harus tetap dijaga dan dilestarikan agar tetap bisa bersaing dengan budaya luar.
Meskipun pada realita di lapangan, minat kalangan muda sudah enggan mempelajari kesenian ini. Sehingga, Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur, dan Para Budayawan harus bekerja ekstra untuk menggaet para kaum millennial tersebut.*
Lihat juga : Simak Berbagai Video Menarik Lainnya Disini