Koropak.co.id – Di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, fenomena penamaan tempat dengan kata “Oe” seperti Oepura, Oebobo, dan Oeba menunjukkan kekayaan budaya dan keterhubungan masyarakat dengan sumber daya alam mereka.
Kata “Oe” dalam bahasa Timor Dawan berarti “Air”, mirip dengan penggunaan kata “Ci” dalam bahasa Sunda di Jawa Barat, yang juga berarti “Air”. Penamaan tempat dengan kata “Oe” di Kota Kupang berkaitan erat dengan prinsip-prinsip toponimi, yaitu studi tentang nama tempat.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), topenimi merupakan cabang dari onomastika yang mengkaji nama-nama tempat. Onomastika, pada gilirannya, adalah cabang linguistik yang mempelajari asal-usul dan makna nama, baik nama orang maupun tempat.
Dalam topenimi, aspek perwujudan atau fisikal merupakan faktor penting. Aspek ini menilai bagaimana nama tempat dapat mencerminkan lingkungan alam dan hubungan manusia dengan lingkungan tersebut (Sudrayat, 2009).
Kota Kupang, dengan iklim tropis kering dan musim kemarau panjang, menjadikan sumber air sebagai elemen vital bagi kehidupan dan perkembangan permukiman.
Oleh karena itu, nama-nama tempat yang diawali dengan “Oe” sering kali merujuk pada sumber-sumber air. Ini mencerminkan bagaimana masyarakat lokal memanfaatkan dan mengapresiasi keberadaan sumber air dalam kehidupan mereka.
Contoh nyata dari fenomena ini adalah nama Oepura, sebuah kelurahan di Kota Kupang. Dalam bahasa Helong, Oepura berarti “air yang keluar dari dalam gua” atau “Oebobon”, yang merujuk pada sebuah sumber air penting di daerah tersebut.
Baca: Misteri Asal Usul Nama Blitar, Bali Dadi Latar
Sumber air ini telah lama digunakan oleh penduduk setempat untuk kebutuhan sehari-hari dan irigasi pertanian. Begitu pula dengan Oeba, sebuah kelurahan lainnya di Kota Kupang. Nama “Oeba” juga merujuk pada sumber air di wilayah tersebut.
Nama ini berasal dari sejarah panjang yang melibatkan kedatangan pasukan dari pulau Solor pada masa penjajahan VOC serta migrasi suku-suku dari pulau Rote dan Timor ke Kota Kupang sekitar tahun 1818-1819.
Seorang pemimpin pasukan VOC dan ulama bernama Atu Laganama dari pulau Lamakera menemukan sumber mata air tersebut dan menamakannya “Waiba”, yang berarti “mata air” dalam bahasa Solor.
Namun, nama ini berubah menjadi “Oeba”, yang berarti “Air Bah” atau “Air Deras”, karena volume air yang semakin deras dari sumber tersebut seiring waktu (Ludji & Teerbom, 2015). Sumber mata air Oeba kemudian menjadi sumber utama kehidupan masyarakat sekitar dan melekat pada nama daerah tersebut hingga sekarang.
Penamaan tempat dengan kata “Oe” di Kota Kupang tidak hanya mencerminkan hubungan masyarakat dengan sumber daya alam mereka, tetapi juga menyimpan pesan penting tentang pentingnya keberadaan sumber air bagi kelangsungan hidup masyarakat.
Fenomena ini tidak terbatas pada Kota Kupang saja; cara penamaan serupa juga ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Ini menggarisbawahi pentingnya menjaga dan menghargai alam sekitar sebagai warisan untuk generasi mendatang.