Memoar

Mengenang Wafatnya Gatot Soebroto, Sang Jenderal Pembela Kaum Kecil

×

Mengenang Wafatnya Gatot Soebroto, Sang Jenderal Pembela Kaum Kecil

Sebarkan artikel ini
Mengenang Wafatnya Gatot Soebroto, Sang Jenderal Pembela Kaum Kecil
Doc. Foto: IDN Times

KOROPAK.CO.ID – Tepat pada hari ini, 11 Juni, bangsa Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya, Letnan Jenderal Gatot Soebroto. Sosok militer yang tidak hanya dikenal karena keahliannya dalam strategi perang, tetapi juga karena hatinya yang senantiasa berpihak kepada rakyat kecil.

Jejak pengabdiannya tak lekang dimakan waktu, terus dikenang sebagai simbol keberanian dan keadilan. Gatot Soebroto lahir di Banyumas, 10 Oktober 1909, di tengah suasana penjajahan kolonial Hindia Belanda. Semangat juangnya mulai terlihat sejak usia dini.

Ia menempuh pendidikan di Europese Lagere School (ELS), sekolah bergengsi milik Belanda. Namun keberaniannya melawan ketidakadilan terlihat saat ia berkelahi dengan anak residen Belanda, insiden ini membuatnya dikeluarkan dari sekolah tersebut. Tak gentar, ia melanjutkan pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Cilacap.

Setelah lulus HIS, Gatot sempat bekerja sebagai pegawai, namun hatinya terpanggil pada dunia militer. Tahun 1923, ia bergabung dengan sekolah militer KNIL di Magelang, tonggak awal karier militernya.

Di bawah komando Belanda dan kemudian Jepang, Gatot menunjukkan karakter berbeda dibanding rekan-rekan seangkatannya, ia lebih banyak membela rakyat daripada penguasa yang menguasainya.

Ketika Jepang membentuk organisasi militer PETA (Pembela Tanah Air), Gatot Soebroto turut bergabung dan diangkat menjadi komandan kompi di Banyumas, lalu naik menjadi komandan batalyon. Di masa ini, keteguhannya berpihak pada rakyat pribumi kian terlihat.

Ia tak segan menegur, bahkan menantang atasan Jepang yang memperlakukan anak buah dan rakyat kecil dengan semena-mena. Berulang kali ia mendapat teguran, tapi nyalinya tidak pernah surut.

Baca: Kisah Pengabdian hingga Akhir Hayat Jenderal Gatot Subroto

Pasca Proklamasi Kemerdekaan, Gatot Soebroto terlibat langsung dalam membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI). Di masa-masa genting republik muda, ia menjadi salah satu figur penting dalam menumpas pemberontakan, termasuk Peristiwa Madiun 1948 yang melibatkan PKI.

Gatot juga dikenal luas karena integritas dan keberaniannya dalam dunia politik-militer. Tahun 1953, ketika gelombang tuntutan rakyat terhadap pembubaran parlemen ditolak dan situasi memanas hingga mencapai Istana Negara, Gatot dituduh sebagai dalang kerusuhan.

Tanpa membela diri, ia memilih mengundurkan diri dari jabatannya dan dinas militer sebagai bentuk tanggung jawab moral. Namun jasa dan pengaruhnya tidak luntur. Tiga tahun berselang, pemerintah kembali memintanya menjabat sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad).

Dalam posisi ini, Gatot kembali menunjukkan kepiawaian militernya dengan berhasil meredam pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatera dan Sulawesi Utara. Puncak karier dan pengabdiannya ditandai dengan gagasannya membentuk AKABRI, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang menggabungkan matra darat, laut, dan udara.

Meski AKABRI resmi dibentuk tiga tahun setelah wafatnya, semangat integrasi yang ia taburkan tetap hidup dan menjadi fondasi penting militer Indonesia.

Gatot Soebroto menghembuskan napas terakhirnya pada 11 Juni 1962, dalam usia 55 tahun. Ia meninggalkan warisan bukan hanya dalam bentuk strategi dan organisasi militer, tapi lebih dari itu, teladan tentang bagaimana kekuasaan seharusnya digunakan untuk melindungi yang lemah, bukan menindas.

Kini, nama Gatot Soebroto abadi dalam ingatan bangsa. Terpahat dalam sejarah, diabadikan sebagai nama jalan utama di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, serta dikenang sebagai salah satu pahlawan nasional yang memilih berdiri di sisi rakyat, bahkan ketika itu berarti menantang penguasa.

error: Content is protected !!