KOROPAK.CO.ID – Di antara riuh rendah modernitas Kota Solo, tersimpan cita rasa masa lalu yang mulai memudar, cabuk rambak. Kuliner tradisional ini dulu mudah ditemui di setiap sudut pasar dan gang kota, namun kini keberadaannya mulai langka, seakan hanya menyisakan jejak di ingatan para penikmatnya.
Cabuk rambak adalah hidangan sederhana namun sarat makna. Namanya diambil dari dua unsur utama yang membentuknya: cabuk, yakni saus berwarna kecokelatan dari wijen putih yang ditumbuk halus, dan rambak, kerupuk kulit sapi atau kerbau yang renyah.
Keduanya berpadu di atas ketupat yang lembut, disajikan di atas pincuk daun pisang, memberi aroma khas yang menggoda.
Dahulu, makanan ini menjadi santapan harian warga Solo, terutama di pasar-pasar tradisional. Para penjualnya umumnya ibu-ibu paruh baya, berjalan dari satu tempat ke tempat lain, menggendong dagangan mereka dengan sabar.
Di atas tikar sederhana, pembeli duduk lesehan, menikmati cabuk rambak hangat sambil berbincang santai. Namun, waktu berjalan. Generasi baru mulai beralih ke makanan cepat saji, dan sedikit demi sedikit, cabuk rambak tergeser dari ruang publik.
Baca: Bernostalgia dengan Cabuk Rambak, Panganan Unik dan Langka dari Kota Solo
Proses pembuatannya yang panjang terutama merebus ketupat hingga lima jam untuk mendapatkan tekstur kenyal sempurna membuat banyak orang enggan melestarikannya.
Kini, hanya segelintir penjual yang masih setia menjajakan cabuk rambak di pasar-pasar lama Solo, menjaga warisan rasa yang nyaris terlupakan.
Setiap lipatan daun pisang, setiap tetes saus wijen, menjadi pengingat akan kekayaan kuliner dan kearifan lokal yang pernah hidup di tengah masyarakat.
Cabuk rambak bukan sekadar makanan. Ia adalah cerita tentang kesederhanaan, ketekunan, dan cinta pada tradisi. Di dalam sepiring kecilnya, tersimpan sejarah panjang budaya makan masyarakat Solo—sebuah warisan yang layak dijaga agar tidak lenyap ditelan zaman.