KOROPAK.CO.ID – Selain dikenal sebagai pelaut ulung, suku Mandar di Sulawesi Barat memiliki beragam tradisi yang merefleksikan nilai religi dan solidaritas sosial. Salah satunya adalah Sayyang Pattudu, tradisi perayaan khatam Al-Qur’an yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Sayyang Pattudu menjadi bentuk syukuran masyarakat Mandar ketika anak-anak atau remaja berhasil menamatkan bacaan Al-Qur’an. Tradisi ini tidak sekadar seremoni keagamaan, melainkan juga ruang ekspresi budaya yang menghadirkan kegembiraan sekaligus kebanggaan kolektif.
Dalam pelaksanaannya, Sayyang Pattudu ditandai dengan arak-arakan kuda yang dihias warna-warni. Kuda-kuda tersebut dilatih untuk “menari”, menganggukkan kepala, serta menjingkrakkan kaki mengikuti irama tabuhan rebana atau rawana. Penunggangnya adalah anak-anak yang baru khatam Al-Qur’an.
Arak-arakan ini diiringi lantunan kalinda’da, puisi tradisional Mandar yang dilantunkan oleh pakkalindada. Syair-syair tersebut berisi pujian, doa, dan nasihat, menjadikan perayaan ini sarat makna religius sekaligus estetika budaya.
Tradisi Sejak Awal Syiar Islam
Tradisi Sayyang Pattudu diperkirakan mulai berkembang pada awal abad ke-17, seiring masuknya Islam ke wilayah Mandar. Bagi masyarakat setempat, khatam Al-Qur’an dan Sayyang Pattudu merupakan dua hal yang tidak terpisahkan.
Selain sebagai penghargaan atas capaian religius, tradisi ini juga berfungsi sebagai sarana sosialisasi antarmasyarakat. Sayyang Pattudu menjadi media untuk memperkuat solidaritas dan menanamkan nilai keagamaan sejak dini. Pelaksanaannya umumnya berlangsung setelah 12 Rabiul Awal.
Identitas, Spiritualitas, dan Nilai Sosial
Baca: Sandeq, Perahu Tercepat dari Mandar yang Menembus Sejarah Nusantara
Bagi suku Mandar, kuda melambangkan kekuatan dan keindahan. Sementara tari, nyanyian, dan iringan musik merepresentasikan kekayaan budaya yang diwariskan lintas generasi. Unsur adat dan nilai Islam berpadu membentuk simbolisme yang kuat dalam setiap prosesi.
Ciri khas lain dari Sayyang Pattudu terlihat dari busana para peserta. Anak-anak yang khatam Al-Qur’an mengenakan padarawa, pakaian yang identik dengan busana haji.
Sementara perempuan dewasa yang duduk di bagian depan kuda, atau pissawe, mengenakan pakaian adat Mandar berwarna merah yang disebut pasangang mamea. Ada pula yang mengenakan busana pengantin adat Mandar atau baju pokko.
Tradisi ini juga menandai fase penting dalam perjalanan hidup seseorang, dari proses belajar menuju kedewasaan spiritual.
Menguatkan Ikatan Sosial
Dalam prosesi arak-arakan, para parrawana melantunkan selawat Nabi Muhammad SAW dengan iringan rebana. Suasana meriah dan partisipasi warga menciptakan interaksi sosial yang hangat, mempererat hubungan keluarga dan komunitas.
Seiring waktu, Sayyang Pattudu tidak hanya digelar dalam perayaan khatam Al-Qur’an, tetapi juga dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, penyambutan tamu penting, serta agenda budaya daerah. Tradisi ini kini menjadi bagian dari identitas khas masyarakat Mandar di Sulawesi Barat.











