Koropak.co.id – Sembahyang Rebut, yang juga dikenal sebagai Chit Ngiat Pan, adalah ritual keagamaan yang dilaksanakan oleh komunitas Tionghoa penganut Konghucu di Bangka Belitung. Ritual ini diadakan setiap tanggal 15 bulan ketujuh dalam kalender Imlek, di kelenteng-kelenteng yang tersebar di wilayah tersebut.
Peringatan Sembahyang Rebut dimulai sehari sebelumnya dengan kegiatan ibadah di rumah masing-masing. Warga Tionghoa mempersiapkan diri dengan melakukan doa dan sembahyang untuk menghormati leluhur yang diyakini turun ke dunia.
Pada hari H, proses ritual berlangsung dari pagi hingga malam hari, puncaknya adalah pembakaran replika Thai Se Ja dan acara rebutan.
Ritual dimulai dengan persiapan sesajian serta perlengkapan lain seperti lilin dan dupa, yang ditempatkan di altar khusus terbuat dari kayu dan papan.
Upacara sembahyang Toapekong kemudian dilakukan di bawah pimpinan seorang Tatung, atau ‘orang pintar’, yang akan membacakan mantra dan membuka kain yang menutup patung replika Thai Se Ja.
Setelah patung Thai Se Ja diungkapkan, masyarakat diperbolehkan untuk bersembahyang di depan altar tersebut. Selama acara, pengunjung dapat menikmati berbagai atraksi seperti barongsai dan pertunjukan seni lainnya.
Tatung akan kembali membaca mantra untuk meminta izin dari Toapekong, dan jika diizinkan, ia akan berkomunikasi dengan dewa akhirat atau Thai Se Ja melalui medium tersebut, meminta agar arwah gentayangan kembali ke alamnya.
Baca: Malean Sampi, Ritual Syukur Para Petani Lombok
Puncak dari ritual ini terjadi tepat pukul 00.00 WIB, ketika replika patung Thai Se Ja dibakar. Saat itulah, kegiatan rebutan dimulai, di mana masyarakat berkumpul dan memperebutkan makanan serta barang-barang yang telah disiapkan.
Thai Se Ja, patung yang menjadi pusat perhatian selama ritual ini, dipercayai dapat menjaga masyarakat dari arwah-arwah yang mengganggu.
Pembuatan patung Thai Se Ja melibatkan proses yang memakan waktu sebulan, dengan kerangka bambu yang dibungkus kain atau kertas berwarna biru, hijau, merah, kuning, dan jingga. Patung ini juga dilengkapi dengan payung dan bendera yang bertuliskan huruf Lin, sebagai simbol perlindungan.
Semboyan masyarakat Bangka Belitung, “Tongin Fangin Jit Jong,” yang berarti kesamaan dan kesetaraan antara etnis Tionghoa dan Melayu, tercermin dalam keselarasan dan kerukunan yang terjaga selama pelaksanaan Sembahyang Rebut.
Tradisi ini menunjukkan semangat toleransi yang kuat di komunitas setempat, di mana masyarakat dari berbagai latar belakang menjaga ketertiban dan mendukung pelaksanaan ritual tersebut.
Bupati Bangka Tengah, Algafry Rahman, pada tahun 2023 lalu menyatakan bahwa kegiatan ini adalah momen untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan memperkuat rasa persatuan di antara semua pihak.
“Tradisi ini merupakan ungkapan cinta masyarakat Tionghoa terhadap kepercayaan dan leluhur mereka, serta sebagai modal untuk hidup rukun, damai, dan tentram,” tuturnya.
Baca juga: Ritual Paca Goya: Persembahan Keharmonisan Masyarakat Kalaodi