Koropak.co.id – Salah satu warisan klasik Ramadan di Indonesia yang tak pernah pudar adalah patroli sahur. Sebagai kebiasaan turun temurun, praktik ini memiliki akar dalam inovasi budaya bangsa Arab untuk membangunkan masyarakat pada jam makan sahur.
Menurut Djoko Adi Prasetyo, seorang antropolog dan dosen kebudayaan Islam di Universitas Airlangga, patroli sahur pada awalnya merupakan bentuk seni musik rakyat yang ritmis, tanpa menggunakan alat musik diatonik seperti piano atau seruling.
“Tradisi ini sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW, di mana masyarakat menggunakan adzan sebagai pengingat waktu sahur karena belum ada teknologi modern seperti pengeras suara,” jelasnya.
Baca: Mengenal Musik Patrol, Warisan Budaya Masyarakat Jember
Seiring berjalannya waktu dan kemajuan teknologi, masyarakat mulai menggunakan alat-alat seperti gendang untuk membangunkan orang sahur. Tradisi ini kemudian menyebar ke Indonesia dengan adaptasi yang berbeda di setiap daerah.
Di Sulawesi, tradisi ini dikenal dengan sebutan Dengo-dengo, sedangkan di Jawa Barat disebut Ubrug-ubrug. Namun, praktik bunyi-bunyian saat sahur ini menjadi yang paling umum dilakukan di Indonesia.
Menurut mitos, patroli sahur berasal dari kebiasaan memanggil burung merpati dengan memukul kentongan. Hal ini mengandung nilai-nilai tanggung jawab sosial, interaksi sosial, dan solidaritas dalam masyarakat Muslim.
Baca juga: Ngabuburit, Tradisi Sunda yang Mendunia