KOROPAK.CO.ID – Dalam lembaran sejarah Indonesia, krisis pangan pernah menjadi kenyataan pahit yang memaksa masyarakat untuk beralih dari beras sebagai makanan pokok, menuju olahan alternatif seperti ubi, singkong, jagung, bahkan sagu.
Masa penjajahan membawa luka panjang bagi petani pribumi. Mereka dipaksa menyerahkan hasil panen dengan ketentuan yang berat sebelah. Belum lagi lahan yang semakin sempit karena alih fungsi, kekeringan melanda, dan berbagai konflik senjata yang berkecamuk di banyak wilayah Nusantara.
Semua ini berdampak pada ketersediaan pangan, memaksa rakyat menciptakan inovasi dari keterbatasan. Namun dari keterbatasan itu, lahirlah beragam makanan sederhana nan sarat makna.
Kudapan-kudapan ini tidak hanya menjadi pengisi perut, tetapi juga simbol daya tahan, kreativitas, dan semangat rakyat Indonesia untuk terus bertahan. Mari kita telusuri kembali jejak sejarah dari pangan rakyat yang masih hidup hingga kini:
1. Kerupuk
Garing, renyah, dan akrab sebagai pelengkap hidangan seperti bubur, gado-gado, atau nasi goreng. Namun siapa sangka, kerupuk dulu adalah makanan pokok bagi masyarakat kelas bawah di masa penjajahan. Ketika bahan makanan langka, kerupuk menjadi pengganjal lapar yang murah dan mudah dibuat.
2. Tinutuan (Bubur Manado)
Dari tanah Minahasa, hadir bubur hangat yang terbuat dari beras, jagung, bayam, labu kuning, dan kemangi. Disajikan bersama sambal dabu-dabu, tinutuan adalah lambang kesederhanaan yang lahir di masa ekonomi sulit. Di abad ke-19, makanan ini bahkan menjadi sarana penyebaran agama Kristen, melambangkan kasih, kebersamaan, dan kerukunan.
3. Horok-horok
Di masa pendudukan Jepang, masyarakat Jepara tak diizinkan makan nasi. Maka sagu pun diolah menjadi butiran transparan menyerupai nasi: horok-horok. Makanan ini menjadi simbol dari keterpaksaan yang melahirkan inovasi, pengingat akan masa ketika beras menjadi barang langka.
4. Cenil
Warnanya cerah, bentuknya mungil, dan teksturnya kenyal. Cenil, jajanan pasar dari Jawa, dulunya hadir sebagai pengganti makanan pokok. Saat masyarakat kesulitan memperoleh beras, cenil dibuat dari pati singkong untuk mengganjal lapar dan menghidupkan semangat.
Baca: Menelusuri Jejak Katupek Gulai, Warisan Rasa dari Ranah Minang
5. Getuk Lindri
Singkong, bahan pokok yang mudah dijumpai, disulap menjadi getuk lindri oleh masyarakat Jawa Tengah. Dengan tekstur lembut, rasa manis-gurih, dan bentuk memanjang, makanan ini menjadi teman minum teh di pagi hari. Di balik kesederhanaannya, terkandung kisah perjuangan melawan tekanan kolonialisme.
6. Leughok
Dari Aceh, muncul camilan praktis untuk masa perang. Leughok, dari pisang dan tepung beras yang dibungkus daun lalu dikukus, menjadi bekal para pejuang yang bergerak melawan Belanda. Makanan ini ringan, bergizi, dan mudah disiapkan dalam kondisi darurat.
7. Nasi Oyek
Singkong ditumbuk kasar, dijemur, lalu dikukus. Itulah nasi oyek, makanan para pejuang kemerdekaan termasuk Jenderal Soedirman. Sumber karbohidrat kompleks ini menjadi bahan bakar fisik dalam perlawanan terhadap agresi militer Belanda pada 1948–1949. Kecil bentuknya, besar maknanya.
8. Sego Jagung
Dikenal dengan manfaat gizi tinggi dan kandungan serat yang baik, sego jagung menjadi pengganti beras yang populer saat penjajahan. Jagung mudah ditanam, murah, dan tahan di berbagai kondisi lahan. Bagi rakyat kala itu, sego jagung adalah lambang ketahanan dan kemandirian pangan.
Hari ini, makanan-makanan itu mungkin disajikan di meja makan kita tanpa kita sadari nilai sejarahnya. Namun sesungguhnya, tiap suapan mengandung cerita tentang bangsa yang tak menyerah pada kelaparan, dan terus bertahan lewat kreativitas dan solidaritas.
Dari masa sulit, tercipta kekayaan kuliner. Dari krisis, tumbuh budaya yang diwariskan lintas generasi. Apakah kamu pernah mencicipi salah satunya? Atau justru baru mengetahui makna di baliknya?











