KOROPAK.CO.ID – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menuai sorotan. Publik menuding tunjangan tinggi yang diterima anggota dewan tidak sejalan dengan kondisi rakyat yang kian sulit. Kritik tajam bahkan bergulir menjadi seruan: DPR lebih baik dibubarkan.
Seruan itu sesungguhnya bukan hal baru. Dalam sejarah republik, Presiden Sukarno pernah benar-benar membubarkan DPR hasil Pemilu 1955.
Majalah Tempo mencatat, Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang membubarkan konstituante. Meski DPR hasil pemilu tetap bertugas, ada syarat: menyetujui perombakan politik termasuk penerapan Demokrasi Terpimpin.
Namun jalan itu buntu. DPR menolak Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 1961 yang diajukan pemerintah. Penolakan itu dipandang Bung Karno sebagai pembangkangan.
Baca: Mengenang Bung Karno, Sang Proklamator dan Pemimpin Karismatik Indonesia
Pada 5 Maret 1960, lewat Peraturan Presiden No. 3/1960, DPR resmi dibubarkan. Sukarno menggantinya dengan DPR-Gotong Royong (DPR-GR) melalui Penetapan Presiden No. 4/1960.
Pembubaran DPR itu sekaligus menandai konsolidasi Demokrasi Terpimpin. Sistem multipartai dipangkas, Partai Masyumi dibubarkan, dan jabatan ketua lembaga tinggi negara diubah menjadi posisi pembantu presiden.
Sejarah mencatat, langkah Sukarno itu diambil dengan alasan DPR tidak lagi membantu pemerintah. Kini, di tengah derasnya kritik publik atas besarnya tunjangan parlemen, gema wacana pembubaran DPR kembali terdengar.











