Muasal

Kutang Suroso dan Jejak Intim Sejarah Busana Perempuan Indonesia

×

Kutang Suroso dan Jejak Intim Sejarah Busana Perempuan Indonesia

Sebarkan artikel ini

KOROPAK.CO.ID – Dalam perjalanan panjang sejarah busana perempuan Indonesia, nama Kutang Suroso menyimpan jejak yang tak bisa diabaikan. Pakaian dalam ini bukan sekadar penutup tubuh, melainkan artefak budaya yang mencerminkan transformasi sosial, norma kesopanan, hingga keterampilan tangan bangsa.

Dari lembaran kain putih yang disobek demi menutup dada hingga menjadi produk fesyen yang tersebar luas di Jawa, kutang ini hadir sebagai simbol perubahan zaman, pelan, namun pasti.

Dari Dada Terbuka ke Kain Penutup

Hingga awal abad ke-19, perempuan pribumi Nusantara hidup dalam kultur yang berbeda dari sekarang. Penutup dada bukan bagian wajib dari busana harian. Pemandangan perempuan bertelanjang dada masih lazim dijumpai, tercatat dalam beragam narasi sejarah maupun karya sastra.

Namun, perubahan mulai terjadi pada masa pembangunan jalan Anyer–Panarukan yang digagas oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels.

Remy Sylado, dalam novel sejarahnya Pangeran Diponegoro: Menggagas Ratu Adil, mengangkat kisah menarik tentang bagaimana kekerasan simbolik terhadap perempuan muncul akibat ketidakhadiran pelindung tubuh.

Seorang bawahan Daendels, Lopez comte de Paris, disebut sebagai sosok yang mendorong perubahan tersebut. Ia prihatin terhadap maraknya pelecehan yang dialami pekerja perempuan.

Instruksinya kepada para wanita untuk menutup dada akhirnya melahirkan bentuk awal kutang: potongan kain putih yang disobek dan dibalutkan di tubuh, sebuah gestur perlindungan sekaligus awal mula sejarah kutang di Indonesia.

Kutang Suroso: Dari Dapur Rumah ke Etalase Pasar

Memasuki masa kemerdekaan, kebutuhan akan pakaian dalam yang nyaman dan sesuai dengan nilai-nilai baru mendorong lahirnya inovasi lokal. Di tengah perubahan zaman, muncul nama Kutang Suroso. Sulistiyoningrum, seorang peneliti sejarah busana, menyebut kutang ini sebagai “evolusi pertama kutang di Indonesia.”

Diciptakan oleh seorang tokoh bernama Suroso pada era 1960-an, kutang ini dengan cepat merebut hati para wanita, khususnya di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Produksi massal Kutang Suroso pun berkembang pesat, dengan Juwiring, Klaten, menjadi sentranya. .

Baca: Sejarah Kutangmu yang Belum Kau Tahu

Di dapur-dapur rumah, para ibu rumah tangga merangkai kutang-kutang itu dengan tangan, lalu mendistribusikannya ke pasar-pasar tradisional di seluruh pulau Jawa. Kutang ini menjadi bagian tak terpisahkan dari busana harian perempuan Indonesia dari pedesaan hingga pinggiran kota.

Desain yang Intim dan Akrab

Keistimewaan Kutang Suroso terletak pada desainnya. Tidak seperti bra modern, kutang ini berbentuk silinder atau tabung, dibuat dari bahan sederhana seperti katun kasar atau bahkan kulit kayu. Ia membalut tubuh dari bawah ketiak hingga ke perut, memberikan perlindungan sekaligus kenyamanan dalam kesederhanaan.

Tak kalah penting, letak kancing yang berada di depan menunjukkan perhatian desain terhadap kebutuhan praktis, khususnya bagi perempuan lansia.

Fitri Astuti, seorang pemerhati budaya, menyebut kutang ini sebagai “pengalaman historis yang bisa dirasakan lewat kulit.” Baginya, mengenakan Kutang Suroso adalah cara memahami perempuan masa lalu dari dalam tubuh sendiri melalui tekstur, bentuk, dan cara pakainya.

Dengan potongan dada yang rendah dan panjang badan yang menutupi lebih dari sekadar payudara, Kutang Suroso tidak sekadar menutupi; ia juga menawarkan kesan sensual yang halus namun nyata. Di masa itu, perempuan bisa tampil tertutup tanpa kehilangan daya tarik. Kutang ini menjembatani fungsi dan estetika dengan sangat lokal dan kontekstual.

Simbol yang Tersisa dalam Ingatan

Meski kini tak lagi digunakan secara luas, Kutang Suroso masih membayang di ingatan banyak perempuan Indonesia, terutama mereka yang tumbuh pada dekade 1970–1980-an. Ia menjadi bagian dari nostalgia, dari ingatan akan ibu atau nenek yang dengan sabar mengenakannya setiap pagi.

Dalam masyarakat Jawa, ia bukan sekadar busana dalam, ia adalah warisan, simbol kesahajaan, dan bagian dari identitas perempuan tempo dulu. Seiring perkembangan zaman, Kutang Suroso telah terpinggirkan oleh mode global dan modernisasi fesyen.

Namun dalam ingatan sejarah, ia tetap hidup: menjadi saksi bisu bagaimana perempuan Indonesia pernah melindungi tubuh dan martabatnya dengan cara yang sangat khas dengan sehelai kain, dijahit dengan tangan, dan dikenakan dengan rasa percaya diri.

error: Content is protected !!