Koropak.co.id – Tongkat Kiai Cokro, yang dikenal sebagai peninggalan bersejarah Pangeran Diponegoro, adalah simbol penting dalam sejarah perjuangan Indonesia.
Sejak abad ke-19, tongkat ini telah menjadi saksi bisu dari berbagai peristiwa monumental dan perjalanan panjangnya melintasi benua. Pangeran Diponegoro, yang memegang tongkat ini sejak tahun 1815, menganggapnya sebagai artefak yang penuh makna.
Tongkat tersebut dinamakan Kiai Cokro, merujuk pada ujungnya yang berbentuk bulat seperti bulan, yang dalam mitologi Jawa dihubungkan dengan Cakra, senjata Dewa Wisnu. Dalam pandangan Diponegoro, tongkat ini bukan hanya sekadar alat, tetapi juga simbol kekuatan spiritual dan kepemimpinan.
Pada tahun 1834, tongkat ini dibawa ke Belanda sebagai hadiah dan dirawat oleh keluarga Braud yang berpengaruh. Selama lebih dari satu abad, tongkat ini berada di bawah pengawasan ketat kolektor dan sejarawan Belanda.
Namun, pada tahun 2015, tongkat ini akhirnya kembali ke Indonesia, di bawah inisiatif Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, yang menggantikan Presiden Jokowi yang saat itu sedang berada di Filipina.
Proses pengembalian tongkat ini dilakukan dengan sangat hati-hati dan rahasia, mengingat nilai sejarah dan simbolisnya yang sangat tinggi.
Baca: Keberanian Pangeran Diponegoro: Mengguncang Kekuasaan Belanda
Anies Baswedan, yang menjadi orang pertama yang memegang tongkat tersebut setelah kembalinya ke tanah air, merasa sangat terhormat dan terkagum-kagum dengan benda bersejarah ini.
“Saya pertama kali melihat tongkat ini, Masya Allah, tongkatnya memang bagus, dan kayunya tua sekali berumur sekitar 200 tahun,” ujarnya dengan penuh kekaguman.
Menurut sejarawan Peter Carey dalam bukunya Kuasa Ramalan Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, tongkat Kiai Cokro digunakan oleh Diponegoro dalam berbagai kegiatan spiritual dan perlawanan melawan kolonial Belanda.
Carey mengungkapkan bahwa tongkat ini dibawa oleh Diponegoro dalam tirakat di Gua Secang (Selarong), memperlihatkan peran penting tongkat ini dalam ritual dan perjuangan.
Setelah berakhirnya Perang Jawa, tongkat ini jatuh ke tangan cucu komandan perempuan pasukan Diponegoro, Nyi Ageng Serang, yakni Pangeran Adipati Notoprojo, sebelum akhirnya sampai ke tangan JC Braud di Belanda.
Tongkat Kiai Cokro, dengan panjang sekitar 1,5 meter dan ujung bulatnya yang khas, adalah saksi bisu dari perjuangan, kepercayaan, dan harapan Pangeran Diponegoro serta masyarakat Jawa.
Kisah dan makna yang melekat padanya menjadikannya bukan hanya sebagai artefak sejarah, tetapi juga sebagai simbol karomah dan kepemimpinan yang diyakini dapat menginspirasi dan memimpin.
Baca juga: Kisah Penangkapan dan Pengasingan Pangeran Diponegoro oleh Belanda